SERAPUH kulit telur. Itulah koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) sejak awal dibentuk Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat dengan mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Sedikit saja terbentur bisa hancur dan terpecah.
Partai Demokrat menginginkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres, tapi kenyataannya jauh panggang dari api. Ketika ada kandidat lain yang disuarakan, Partai Demokrat langsung galau. Dan begitu PKB bergabung dan Muhaimin Iskandar jadi cawapres, Demokrat langsung baper.
Alhasil, Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Demokrat keluar dari koalisi dan menampakkan dengan terang benderang betapa rapuhnya hubungan itu. Partai Nasdem dan PKB tetap penuh percaya diri mendeklarasikan capres dan cawapres di Surabaya. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Sejatinya, sejak mula memang kerapuhan koalisi awal KPP sudah terpampang jelas. Bukan hanya soal penentuan cawapres, melainkan juga narasi yang dibangun mereka. Lebih sibuk memojokkan kebijakan pemerintah saat ini ketimbang membangun visi baru untuk masa depan.
Lalu, bukan Muhaimin Iskandar namanya jika tidak bikin kejutan. Coba diingat dengan baik situasi jelang Pemilu 2019. Cak Imin, begitu sapaan Muhaimin, sangat piawai dalam memainkan peran politiknya sehingga Mahfud MD terpental mendampingi Jokowi.
Bahkan Ketua umum PBNU Prof. Dr Said Aqil Siradj secara terang benderang mengatakan bahwa Mahfud MD bukan kader NU, hal itu dilakukan semata-mata untuk menghadang Mahfud MD. Publik mafhum bagaimana sepak terjang dan relasi Cak Imin dengan Prof. Dr. Said Aqil Siradj.
Sungguh piawai peran Cak Imin, sebagai mantan Ketua umum PB PMII, tentu sudah terbiasa melakukan manuver bahkan aneka ragam cara dilakukan. Demi mewujudkan ambisi politiknya dan berpijak pada hasil Muktamar PKB pada 2022, maka menggandeng Anies Baswedan menjadi solusi, meski menuai kontroversi. Apalagi di tengah ketidakpastian dari Prabowo Subianto untuk memberikan kursi cawapres kepada PKB.
Tentu langkah Cak Imin telah merobohkan koalisi bahkan secara terang-terangan mengusir Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). KPP dideklarasikan oleh PKS Nasdem dan Demokrat (24/3/23) untuk mengusung capres Anies Rasyid Baswedan Piagam Deklarasi Kerjasama Politik disobek oleh Nasdem dan PKB, dalam beberapa pernyataan sekjen Demokrat Teuku Riefky Harsya bahwa Anies telah berkhianat. Anies dan Surya Paloh dinilai telah menelikung dari belakang karena tidak melibatkan Demokrat dalam proses penentuan cawapres.
Sejak Nasdem mengusung dan mendeklarasikan Anies pada 3 Oktober 2022 sebagai capres, harapan publik terhadap Anies luar biasa. Anies yang pandai menata kata dan meracik narasi membuat publik terkesima. Seringkali keriuhan terjadi dalam ruang netizen yang menyampaikan bahwa Anies adalah sosok presiden masa depan.
Mencuri momentum dan menciptakan momentum dilakukan oleh Surya Paloh yang mendeklarasikan Anies sebagai capres partai Nasdem. Tentu Nasdem berupaya meyakinkan banyak pihak terutama parpol untuk diajak berkoalisi, karena mandat UU Pemilu dalam pasal 221 mengatakan bahwa syarat capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Syarat normatif tentu tidak memungkinkan bagi Nasdem di mana perolehan suaranya pada pemilu 2019 hanya memperoleh 59 kursi atau setara dengan 9,05 persen. Solusinya adalah menggandeng atau berkoalisi dengan PKS dan Demokrat adalah cara untuk melampaui 20 persen.
Dalam konstelasi politik nasional, tentu Nasdem sudah mafhum akan berkoalisi dengan siapa. PKS sebagai pengusung Anies saat Pilkada Jakarta 2017 tentu menjadi koalisi pertama, juga mengajak Demokrat yang berada di luar pemerintahan Jokowi. Gabungan Nasdem, PKS, dan Demokrat mencapai 25,03 persen, itu melampaui syarat UU Pemilu.
Dalam perjalanannya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) ini mengalami kegamangan tingkat tinggi. Jika merujuk terhadap berbagai hasil survei elektablitas, Anies konsisten berada di urutan ketiga, jauh tertinggal di belakang Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Fakta itulah yang mengakibatkan Nasdem tidak segera mendeklarasikan cawapres yang layak dan mampu mengatrol elektablitas ARB.
Dalam berbagai kesempatan Adi Prayitno, pengamat politik dari Parameter Politik, sering menyampaikan bahwa Anies didukung oleh kalangan masyarakat Islam kota yang terpelajar seperti pendukung PKS. Maka, harus dicarikan cawapres yang mampu dan membantu elektablitas Anies agar bisa merangsek dan mendekati elektablitas Prabowo dan Ganjar.
Alih-alih akan mengatrol elektablitas Anies, kehadiran Cak Imin bisa jadi malah meruntuhkan elektablitas ARB. Kenapa demikian, karena pendukung ARB selain PKS ada juga sebagian warga Muhammadiyah yang sangat mengidolakan Anies. Namun, kehadiran Cak Imin membuat dilematis bagi warga Muhammadiyah untuk memberikan dukungan kepada Anies yang berlatar belakang Islam tradisional.
Kawin silang politik santri Islam tradisional dan Islam modernis ini akan menemukan jalan berliku, bahkan berbahaya. Perbedaan pandangan mengenai paham keagamaan tentu berdampak dalam pilihan politik bagi Islam modernis maupun tradisional. Ibarat menyatukan air dan minyak yang sulit untuk menyatu.
Mungkin Anies meyakini bahwa dalam politik elektoral dan liberal seperti saat ini, paham keagamaan dinilai tidak berdampak signifikan, sehingga memilih Cak Imin menjadi cawapres dinilai tepat.
Lagi-lagi pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa Anies menggandeng Cak Imin sebagai cawapresnya dan rela meninggalkan AHY. Padahal, jika dilihat dari berbagai hasil survei cawapres elektablitas AHY lebih unggul ketimbang Cak Imin. Jika dilihat dari perolehan kursi di parlemen, PKB 58 kursi dan Demokrat 54 kursi, selisih 4 kursi.
Sungguh harga yang sangat mahal yang harus dibayar oleh Anies saat meninggalkan AHY. Anies yang dinilai intelektual dan pandai menatap kata seketika runtuh karena terma penghianat semakin melekat. Jejak digitalnya yang mengatakan jika Prabowo maju menjadi presiden, maka Anies tidak akan maju menjadi capres, karena Prabowo lah yang menolong dan menjadi mentor politik sehingga bisa menjadi Gubernur DKI. Faktanya Prabowo juga dikhianati oleh Anies.
Lantas apa yang diharapkan Anies dengan menggandeng Cak Imin? Jika basis suara Nahdliyin yang diharapkan oleh Anies lantaran Cak Imin kader tulen NU, tentu analisnya terlalu buru-buru. Sebab, bukan rahasia lagi, perseteruan Gus Yahya sebagai Ketua umum PBNU dengan Cak Imin akan berdampak serius terhadap elektoral PKB dan Cak Imin.
Jaringan Gusdurian yang dinahkodai anak sulung Gus Dur Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid yang akrab dipanggil Alissa Wahid tidak tinggal diam dan membiarkan Cak Imin melenggang ke Istana. Pun begitu juga dengan Yeni Wahid yang sering berseteru dengan Cak Imin dengan terang-terangan mengatakan Cak Imin telah mengkudeta Gus Dur.
Terlepas itu, Anies dan Cak Imin sudah dideklarasikan (2/9/23) di Surabaya. Ratapan Demokrat yang mengatakan Anies sebagai pengkhianat dinilai hal lumrah dalam politik kekuasaan. Publik menerka, ke mana Demokrat akan melabuhkan dukungan atau berkoalisi dengan kubu mana? Prabowo Subianto atau ke Kubu Ganjar Pranowo? Kita tunggu saja. (*)
Abdus Salam, Penulis adalah Sekretaris PSIF UMM dan Dosen Sosiologi FISIP UMM