PBNU dan Muhammadiyah di Persimpangan Raja Ampat: Mendukung atau Menolak Total Tambang di Pulau Kecil?

PBNU dan Muhammadiyah di Persimpangan Raja Ampat: Mendukung atau Menolak Total Tambang di Pulau Kecil?

MAKLUMAT – Pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi momen ujian bagi komitmen negara dalam melindungi pulau-pulau kecil. Empat IUP yang dicabut berada di luar Pulau Gag: PT Nurham, PT Anugrah Surya Pertama, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond Perkasa.

Satu-satunya IUP yang masih beroperasi adalah PT Gag Nikel, karena memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk 2025 dan berstatus kontrak karya sejak 1998.

“Saya harus sampaikan, dari lima IUP yang ada, hanya PT Gag Nikel yang punya RKAB dan beroperasi. Yang lainnya belum punya RKAB untuk 2025,” kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dalam keterangan resmi, Selasa (10/6/2025).

Ia menegaskan, pencabutan ini bagian dari penataan sektor pertambangan nasional, sesuai mandat Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Pemerintah juga membentuk Satgas khusus untuk menangani kawasan hutan dan tambang ilegal.

“Kami langsung berkoordinasi dengan Menteri LHK dan Menteri Kehutanan untuk menyelesaikan pencabutan ini secara teknis,” tambah Bahlil.

Menurutnya, keputusan ini diambil langsung oleh Presiden Prabowo usai melakukan koordinasi dengan kementerian terkait dan pemerintah daerah. Ia menegaskan, proses pencabutan administrasi masih berjalan dan akan menggandeng KLHK dalam prosesnya.

Sikap Muhammadiyah

Namun, panggung ini tak hanya milik pemerintah. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), juga angkat bicara. Tapi sikap mereka berseberangan.

Baca Juga  KPK Ungkap Peran Hasto di Kasus Harun Masiku: Suruh Tenggelamkan HP ke Air dan Arahkan Saksi

Muhammadiyah lewat Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) mendesak pencabutan tidak berhenti di Raja Ampat. Mereka menuntut seluruh IUP di pulau kecil dicabut.

“Pertambangan di pulau kecil itu dilarang. UU No. 27/2007 junto UU No. 1/2014 tegas menyebut larangan itu,” kata Parid Ridwanuddin dari LHKP PP Muhammadiyah.

Jika pemerintah serius menegakkan hukum, menurutnya, semua izin tambang di pulau kecil harus dievaluasi dan dicabut. “Ini bukan soal politik. Ini soal hukum dan tanggung jawab ekologi,” ujarnya.

Ketua Bidang Politik SDA LHKP, Wahyu Perdana, menambahkan bahwa pencabutan empat IUP jangan jadi dalih membuka izin baru dengan nama dan skema berbeda. “Jangan akal-akalan. Jangan hapus satu izin lalu buka pintu untuk izin baru. Itu manipulatif,” tegasnya.

Wahyu mengingatkan, daya dukung pulau kecil sangat rendah. Jika tetap ditambang, akan menjadi bom waktu. “Perempuan adat, anak-anak, masyarakat pesisir, semua akan kehilangan ruang hidup,” kata Wahyu.

Mereka juga menyinggung soal keadilan ekologis. Eksploitasi tambang di pulau kecil dinilai melanggar prinsip-prinsip CEDAW yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang layak.

Data Yayasan Auriga Nusantara (2025) menunjukkan, saat ini ada 303 perusahaan yang mengantongi izin di 214 pulau kecil, total luasnya 390 ribu hektare. Muhammadiyah menyebut pencabutan di Raja Ampat saja tidak cukup. Jika sisanya dibiarkan, pemerintah dinilai diskriminatif dalam menegakkan hukum.

Baca Juga  Presiden Prabowo Subianto Teken Perpres Baru, Pelantikan Kepala Daerah Terpilih Digelar Serentak 20 Februari 2025

Isu ini bahkan mengemuka sejak Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo tahun 2022. Muhammadiyah menyerukan perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil dari tambang, reklamasi, hingga pariwisata masif.

“RUU Perubahan Iklim harus segera disahkan. Pemerintah harus berhenti merampas ruang hidup masyarakat pesisir,” tegas Wahyu.

Sikap PBNU

Di sisi lain, PBNU justru mendukung langkah pemerintah. Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menyebut keputusan Presiden Prabowo mencabut empat IUP sebagai langkah cepat dan tepat.

“Kami apresiasi ketegasan pemerintah dalam mencabut empat izin dan memperketat pengawasan terhadap PT Gag Nikel,” ujar Gus Ulil.

Ia menyebut pengelolaan sumber daya alam harus adil dan berdasar hukum. “Jangan cuma segelintir orang yang nikmati. Lingkungan dan keadilan sosial harus dijaga,” tegasnya.

Namun dukungan PBNU tak lepas dari sorotan. Salah satu Ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi, diketahui menjabat komisaris di PT Gag Nikel. Ini memicu tudingan soal potensi konflik kepentingan.

Bendahara Umum PBNU, Gudfan Arif, membantah keras. Ia menegaskan, PBNU tidak pernah menerima dana dari PT Gag Nikel. “Itu tudingan keji. Kami siap buka data,” kata Gudfan.

Ia menegaskan, Fahrur Rozi menjabat sebagai pribadi, bukan atas nama PBNU. “PT Gag adalah anak usaha PT ANTAM. Kebetulan saja komisarisnya warga NU. Tidak ada hubungannya dengan PBNU,” ujar Gudfan seperti dilansir Antara.

Tudingan itu awalnya dilontarkan akun TikTok @tanpadusta. Dalam narasinya, akun itu menyebut PBNU menerima dana dari Ananda Tohpati alias Andes “Kancil”, anak mantan Menteri LHK, yang disebut mengatur donasi Rp55 miliar per bulan dari lima perusahaan tambang di Raja Ampat.

Baca Juga  Haedar Nashir Ungkap Rencana Muhammadiyah Bangun Islamic Center di Madrid Spanyol

Totalnya, klaim akun itu, Rp275 miliar per bulan atau Rp3,3 triliun per tahun—sebagian diklaim mengalir ke PBNU lewat Gus Fahrur. Namun tudingan itu dibantah mentah-mentah oleh PBNU.

Kini, semua mata tertuju pada langkah lanjutan pemerintah. Apakah pencabutan akan diperluas ke seluruh pulau kecil, atau hanya berhenti di Raja Ampat?

Di titik inilah NU dan Muhammadiyah berdiri di persimpangan jalan. Satu memilih dukungan penuh pada langkah awal pemerintah. Yang lain menuntut konsistensi dan ketuntasan total.

Pulau kecil tak lagi sekadar gugusan karang di laut. Ia kini jadi cermin keberpihakan negara—pada investasi atau keberlanjutan hidup rakyat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *