Melindungi Anak, Merawat Masa Depan: Perspektif Sosiologis atas Kebijakan Jam Malam

Melindungi Anak, Merawat Masa Depan: Perspektif Sosiologis atas Kebijakan Jam Malam

MAKLUMAT — Surat Edaran Wali Kota Surabaya tentang Pembatasan Jam Malam bagi Anak yang mulai diberlakukan sejak 20 Juni 2025, patut diapresiasi sebagai langkah strategis yang mencerminkan kehadiran negara dalam menjawab tantangan sosial-urban yang semakin kompleks.

Surabaya tidak hanya tampil sebagai kota yang responsif terhadap amanat hukum, tetapi juga menunjukkan kepemimpinan moral dalam merawat masa depan anak-anaknya.

Dalam konteks ini, pendekatan protektif bukan semata-mata membatasi ruang gerak anak, tetapi membingkai ulang relasi antara keluarga, komunitas, dan negara dalam merawat generasi.

Dari sudut pandang sosiologi, kebijakan ini dapat ditafsirkan sebagai praktik kontrol sosial formal yang berbasis nilai-nilai kesejahteraan anak (child well-being) dan hak-hak sipil anak di ruang publik.

Namun lebih dari itu, ia juga mencerminkan kekhawatiran kolektif masyarakat kota atas menurunnya kapasitas institusi-institusi primer seperti keluarga dan lingkungan dalam melakukan fungsi sosialisasi dan pengawasan sosial.

Anak-anak dan remaja, yang berada dalam fase rentan dan transisional, kerap kali menjadi korban dari kekosongan sosial tersebut—terjebak dalam ruang publik yang semakin permisif tetapi tanpa pendampingan dan nilai.

Pertama, dimensi edukatif dalam kebijakan ini merupakan kekuatan utama. Pemerintah kota menempuh pendekatan restoratif—bukan punitive—yang menjadikan pelanggaran sebagai pintu masuk menuju transformasi, bukan penghukuman.

Melalui program Rumah Perubahan, Rumah Ilmu Arek Suroboyo, serta kelas parenting bagi orang tua, kebijakan ini berupaya menciptakan ekosistem pembelajaran sosial di mana anak-anak dapat memahami batasan, tanggung jawab, dan makna kebebasan yang dibingkai oleh norma dan etika sosial. Inilah bentuk sanksi sosial edukatif yang patut ditiru oleh kota-kota lain.

Baca Juga  Pakar Pendidikan Dukung Jam Malam Anak Surabaya, Dorong Peran Keluarga dan Sekolah

Kedua, kebijakan ini mencoba menjembatani kembali hubungan yang retak antara warga dan komunitasnya.

Di era di mana kontrol sosial informal melemah akibat fragmentasi ruang dan waktu sosial—misalnya karena gaya hidup individualistik dan kehadiran teknologi digital yang mengisolasi relasi antarwarga—, pemerintah menghidupkan kembali semangat kolektif melalui aktivasi Siskamling, partisipasi tokoh masyarakat, dan pelibatan RT/RW sebagai garda depan pengawasan anak.

Hal ini sejalan dengan temuan sosiolog klasik Émile Durkheim bahwa solidaritas sosial menjadi fondasi utama kohesi masyarakat modern yang tengah mengalami anomi.

Ketiga, fokus pada peran orang tua merupakan bentuk pemulihan fungsi keluarga sebagai institusi sosialisasi utama. Dengan mendorong kelas parenting, edukasi hukum, dan gerakan “1 Jam Tanpa Gawai Bersama Keluarga”, kebijakan ini merespons problem mendasar di banyak keluarga urban hari ini: parental disengagement atau ketercerabutan hubungan emosional antara orang tua dan anak.

Kesibukan ekonomi, beban digitalisasi, dan perubahan gaya hidup menjadikan keluarga sekadar unit tempat tinggal, bukan lagi ruang pendidikan nilai. Maka, kebijakan ini sekaligus menjadi panggilan bagi revitalisasi institusi keluarga itu sendiri.

Namun demikian, ada kekosongan struktural yang perlu segera diisi agar kebijakan ini tidak menjadi kebijakan yang eksklusif bagi anak-anak dari keluarga mapan, tetapi benar-benar inklusif bagi seluruh warga. Banyak anak dan remaja di Surabaya yang tinggal di lingkungan padat, miskin fasilitas, atau bahkan mengalami disfungsi keluarga.

Baca Juga  Melawan Krisis Literasi dengan Tradisi Literasi

Mereka tidak memiliki ruang belajar, tempat berlindung, atau akses terhadap kegiatan malam yang positif. Dalam konteks seperti ini, larangan semata justru dapat memperbesar ketimpangan sosial, melanggengkan stigmatisasi, dan memutus akses mereka terhadap kesempatan sosial yang lebih baik.

Untuk itu, penting disediakan dukungan kebijakan atau program lain seperti Jam Belajar Masyarakat secara lebih terstruktur dan menyeluruh. Rumah, balai RW, masjid, taman baca, rumah ibadah, atau ruang komunitas lainnya perlu diaktifkan menjadi ruang aman dan produktif bagi anak-anak hingga pukul 22.00, dengan dukungan relawan, kader Surabaya Hebat, mahasiswa kampus sekitar, bahkan tokoh masyarakat setempat.

Model community learning spaces ini tidak hanya akan menghidupkan budaya belajar, tetapi juga memperkuat jejaring sosial antara generasi muda dan lingkungannya. Di sinilah sosiologi harapan bekerja: membangun masyarakat belajar yang inklusif, adaptif, dan berkeadaban.

Ke depan, penting pula disusun mekanisme evaluasi sosiologis atas implementasi kebijakan ini. Evaluasi tidak cukup hanya mengandalkan indikator administratif atau angka pelanggaran, melainkan juga perlu menyentuh aspek kualitatif.

Bagaimana kebijakan ini memengaruhi pola interaksi dalam keluarga? Apakah ada peningkatan ketahanan sosial anak? Bagaimana persepsi komunitas terhadap kebijakan ini dari waktu ke waktu? Kolaborasi antara pemerintah kota, perguruan tinggi, dan lembaga riset menjadi kunci agar kebijakan ini terus relevan, adil, dan kontekstual.

Singkatnya, kebijakan pembatasan jam malam bagi anak adalah langkah penting dalam membangun kota yang tidak hanya modern secara infrastruktur, tetapi juga beradab dalam merawat anak-anaknya.

Baca Juga  Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI

Namun seperti semua kebijakan sosial, ia akan efektif hanya jika disertai dengan ruang alternatif yang membebaskan, bukan sekadar pelarangan. Sebab, yang dibutuhkan anak bukan hanya larangan untuk berada di luar rumah, tetapi juga alasan yang layak untuk tetap tinggal dan tumbuh di tengah komunitas yang peduli dan hadir.***

*) Penulis: Moh. Mudzakkir, Ph.D.
Sosiolog FISIPOL Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *