MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Ketua LHKP PP Muhammadiyah: Tafsir yang Sangat Progresif

MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Ketua LHKP PP Muhammadiyah: Tafsir yang Sangat Progresif

MAKLUMAT — Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi, menyambut positif Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilu lokal dengan jeda waktu paling singkat dua tahun.

“Saya menyambut baik putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilu lokal, yang akan berlaku pada 2029 untuk Pemilu nasional, dan Pemilu lokal itu nanti dua tahun setelahnya,” bukanya kepada Maklumat.ID, Jumat (27/6/2025).

Meski begitu, Ridho menyebut bahwa putusan MK itu akan memicu pandangan dan persepsi yang beragam dari berbagai kalangan. Namun, ia menegaskan bahwa MK adalah harapan dan ‘benteng’ terakhir yang ‘menjaga konstitusi’.

Ia mengapresiasi Putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pemilu lokal mulai tahun 2029 mendatang, yang disebutnya sebagai tafsir yang progresif.

“Saya kira ini merupakan tafsir yang sangat progresif, yang sangat positif, agar supaya penyelenggaraan Pemilu atau sistem demokrasi kita tertata secara lebih baik. Pemisahan Pemilu nasional dan lokal itu ada jarak dua tahunan, dan di situ politik nasional berdiri sendiri, berbeda dengan politik lokal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” kata Ridho.

Selaras dengan Hasil Riset dan Putusan Sebelumnya

Menurut Ridho, Putusan MK tersebut selaras dengan putusan sebelumnya di kisaran akhir tahun 2013 silam, yang mana kala itu terdapat enam model tawaran sistem Pemilu.

Baca Juga  Menteri Agama: Pemudik Bisa Menggunakan Fasilitas Masjid untuk Istirahat

Selain itu, pria yang juga menjabat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu mengaku bahwa model Pemilu terpisah antara nasional dan lokal juga telah dibahas dalam risetnya yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul ‘Sistem Pemilu Indonesia’, yang terbit pada Januari 2025 lalu.

“Ini selaras juga dengan Putusan MK di akhir tahun 2013, di mana ada enam model tawaran sistem Pemilu. Dan MK memutuskan salah satunya adalah untuk pemisahan Pemilu nasional dan lokal,” ungkapnya.

“Dan Putusan MK ini sebetulnya juga sesuai dengan hasil riset saya, yang diterbitkan bukunya pada Bulan Januari 2025 kemarin dan sudah pernah dibedah di Yogyakarta, di UMY, dan juga pernah dibedah di Jakarta,” sambung Ridho.

Dampak Positif Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Menurutnya, pemisahan Pemilu menjadi nasional dan lokal memberikan banyak implikasi positif bagi demokrasi Indonesia. Termasuk, dalam penyelenggaraannya diharapkan menjadi lebih optimal.

“Bahwa ada banyak kelebihan dari sistem Pemilu nasional dan lokal yang terpisah, di mana kalau terjadi pemisahan Pemilu menjadi dua ini tidak mengakibatkan penumpukan Pemilu dalam satu waktu saja. Pemilu nasional itu tiga ya, Presiden-Wapres, DPR RI, dan DPD. Lalu lokal itu Gubernur-Wagub, DPRD Provinsi, Pilbup/Piwalkot, dan DPRD Kabupaten/Kota juga termasuk di dalamnya,” sebutnya.

“Berdampak juga pada pengelolaan penyelenggaraan Pemilu, baik itu KPU maupun Bawaslu, untuk menghidupkan situasi politik di tingkat lokal,” imbuh alumnus TU University Dortmund, Jerman itu.

Baca Juga  PKB Masih Cari Kesamaan dengan PDIP untuk Pilkada Jatim

Lebih lanjut, Ridho berharap agar dengan pemisahan Pemilu nasional dan lokal tersebut mampu membuat dinamika politik lokal dan isu-isu pembangunan daerah tidak tertinggal ataupun tertutupi oleh isu-isu nasional.

“Jangan sampai dinamika politik lokal menghasilkan para pemimpin yang tidak baik atau justru membuat hasil Pemilu itu menjadi ruang untuk besarnya praktik politik uang, seperti yang terakhir pemilihan diulang di Barito Utara, itu kan bahkan politik uangnya ini terbesar sepanjang sejarah,” sorotnya.

Ridho mewanti-wanti bahwa dengan Pemilu lokal yang berdiri sendiri jangan sampai hanya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk meraup keuntungan dan memuluskan kepentingannya.

Sebaliknya, pemisahan Pemilu lokal harus mampu benar-benar memfilter calon-calon pemimpin daerah yang sesuai dengan harapan dan aspirasi rakyat.

“Jangan sampai Pilkada nanti hanya sebagai sekadar untuk job seeker, mencari keuntungan, itu enggak masuk akal uang segitu hanya untuk menang-menangan. Nah, ini menjadi evaluasi di mana politik lokal itu harus mampu melahirkan pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat, harapnya.

“Memang tentu masih ada pemimpin lokal yang dihasilkan yang baik, tapi jumlahnya sangat sedikit, selebihnya hanya hasil kongkalikong partai politik dengan pemodal, sehingga melahirkan pemimpin yang tidak patuh terhadap keputusan rakyat, tetapi malah menghamba pada keputusan konglomerat,” tambah Ridho.

Revisi UU Pemilu Harus Merujuk Putusan MK

Kendati demikian, ia kembali menegaskan dan mengajak publik untuk menyambut baik Putusan MK tersebut. Ia juga mengingatkan agar DPR RI segera melakukan revisi terhadap undang-undang Pemilu, dengan menyesuaikan Putusan MK tersebut.

Baca Juga  Anwar Abbas Minta Pemerintah Tiru Program Sumitro untuk Cetak Pebisnis Pribumi

“Kita sambut baik keputusan MK ini, dan DPR sebagai pihak yang mempunyai wewenang untuk merevisi undang-undang harus merujuk pada putusan MK ini untuk diterapkan dalam revisi undang-undang Pemilu,” pungkas Ridho.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *