MAKLUMAT — Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu lokal/daerah baru-baru ini, yang dinilainya semakin jauh dari batas kewenangan sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Sorotan tersebut ia sampaikan ketika menjadi salah satu narasumber dalam podcast bertajuk ‘Parpol Terbelah Pemisahan Pemilu Serentak. DPR Dituding Lambat Tangkap Aspirasi‘, yang disiarkan di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored pada Rabu (2/7/2025).
Menurut Doli, dalam beberapa tahun terakhir MK cenderung memasuki wilayah legislasi yang seharusnya menjadi ranah DPR dan pemerintah. Sehingga, kata dia, MK seakan berubah menjadi ‘pembentuk undang-undang ketiga’.
Terkait putusan tersebut, politisi Partai Golkar itu menegaskan belum ada sikap resmi dari DPR. Ia menyebut bahwa semua pihak tengah mengkaji putusan tersebut, termasuk partai politik, yang tentu akan terdampak oleh lahirnya putusan MK itu.
“Sampai saat ini sebetulnya di DPR belum punya sikap resmi apalagi per komisi. Karena ini kan sangat tergantung juga nanti sikap dari partai politik. Semua putusan MK ini, at the end berpengaruh pada soal eksistensi partai politik kan pada akhirnya,” ujarnya, dikutip Maklumat.id, Jumat (4/7/2025)
“Nah, makanya kita semuanya sedang melakukan kajian terhadap itu di masing-masing partai politik,” sambung Doli.
Melampaui Batas Kewenangan
Doli berpendapat, belakangan setiap kali MK mengambil keputusan yang menyentuh sistem politik dan pemilu, posisinya terlihat semakin melampaui batas. Ia menyayangkan bahwa selama ini lembaga legislatif tampak tidak cukup tanggap terhadap kecenderungan tersebut, sehingga MK merasa leluasa memperluas ruang tafsirnya.
Ia mengibaratkan MK seperti pemain bola yang ‘sudah lewat garis offside, lama-lama makin offside‘. Baginya, kondisi ini berbahaya karena menyentuh hal-hal mendasar dalam pembentukan norma hukum yang mestinya dibahas oleh DPR bersama pemerintah.
Doli menekankan bahwa dalam proses legislasi sangat penting untuk melibatkan representasi rakyat, dialog terbuka dengan masyarakat sipil, akademisi, hingga kelompok pengamat. Dalam konteks ini, ia mengaku memahami keresahan partai politik terhadap putusan MK yang cenderung sepihak.
“Jadi wajar saja menurut saya teman-teman partai politik kemarin dengan putusan ini merasa, loh ini lama-lama MK yang putusin, kita yang babak belur suruh ngerjain ke bawah,” tandas pria yang juga menjabat Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu.
Segera Bahas Perubahan Sistem
Lebih lanjut, Doli mendorong agar pembahasan perubahan sistem politik dan Pemilu segera dimulai. Menurutnya, setelah 25 tahun reformasi dan berbagai Pemilu yang dilakukan dengan format serupa, sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh. Ia mengingatkan bahwa sistem Pemilu yang berlaku saat ini dinilai terlalu mahal, melelahkan, dan bahkan menimbulkan korban jiwa.
Doli secara pribadi menyetujui bahwa pengaturan ulang tentang keserentakan pemilu memang diperlukan. Menurutnya, pelaksanaan Pemilu serentak pada 2024 lalu membawa sejumlah persoalan teknis dan sosial. Penyelenggara kewalahan, anggaran membengkak, dan masyarakat pun merasa jenuh karena dalam setahun penuh dibombardir isu politik.
Di sisi lain, Doli melihat kejenuhan masyarakat sebagai faktor penting yang menurunkan partisipasi pemilih dalam Pilkada. Banyak pemilih merasa sudah cukup memilih saat pilpres, sehingga enggan kembali ke TPS. Menurutnya, situasi ini mendorong terjadinya pragmatisme politik melalui mobilisasi suara dengan pendekatan material.
“Saya punya pengalaman empirik di lapangan. Kenapa menurun? Karena mereka jenuh. Bahkan mereka mengatakan, ‘loh, mereka kan udah Pilpres, ini apalagi? Kan sama aja, isunya sama, partainya sama, orang-orangnya juga hampir sama’,” terangnya.
Doli juga menilai bahwa usulan MK terkait skema keserentakan bisa didiskusikan lebih lanjut. Namun pembentuk undang-undang harus memastikan agar tidak bertentangan dengan konstitusi dan dapat diintegrasikan dengan regulasi lain seperti UU Pemilu, UU Pilkada, regulasi tentang otonomi daerah, dsb.
Ia mengingatkan, masih ada persoalan serius yang belum diatur, seperti perpanjangan masa jabatan DPRD. Hal ini berbeda dengan kepala daerah yang sudah memiliki dasar hukum soal perpanjangan masa jabatan.
“Yang di soal ini adalah DPRD yang diperpanjang. Ini belum ada aturannya itu ya,” tandas Doli.