Penyiaran Ramah Anak Embrio Investasi Sosial

Penyiaran Ramah Anak Embrio Investasi Sosial

MAKLUMAT – Dulu, ketika televisi masih menjadi satu-satunya jendela hiburan di rumah, anak-anak kita tumbuh dengan cerita-cerita sederhana. Ada Si Unyil yang bersahaja, ada kisah-kisah fabel di radio yang menyapa dengan suara hangat, ada acara anak-anak yang mengajarkan sopan santun, cinta tanah air, bahkan nilai kejujuran.

Mereka tumbuh di ruang siar yang, kalau pun belum sempurna, masih terjaga oleh kesadaran kolektif bahwa dunia anak-anak adalah dunia yang harus dilindungi. Dunia yang menumbuhkan imajinasi, bukan mematahkan rasa ingin tahu. Dunia yang memperkenalkan nilai kebaikan, bukan membenarkan kekerasan sebagai candaan.

Hari ini, semua itu seolah bergeser.

Anak-anak zaman ini lahir di tengah zaman yang terlalu bising. Televisi tak lagi menjadi satu-satunya kanal. Siaran datang dari berbagai penjuru, dari layar gawai di genggaman, dari media sosial, dari kanal daring yang menawarkan segala rupa hiburan.

Di dalamnya, kita tak lagi mudah membedakan mana tayangan yang ramah anak, mana yang sesungguhnya jebakan bagi rasa dan nalar mereka. Di satu sisi, ada acara televisi yang dengan ringan menampilkan kekerasan verbal, caci maki, hingga body shaming. Semua dibungkus kemasan hiburan. Di sisi lain, ada platform daring yang lebih bebas, menampilkan prank yang kelewat batas, tantangan yang absurd, bahkan konten-konten yang mengandung kekerasan terselubung.

Seorang bocah kelas 4 SD di Surabaya pernah mengadu kepada gurunya karena dijadikan bahan ejekan teman-temannya. Alasannya sepele: lawakan yang biasa ia tonton di televisi, dipraktikkan teman-temannya di sekolah. Panggilan-panggilan kasar, umpatan, hingga olok-olok yang dianggap lucu di layar, menjelma menjadi kenyataan yang menyakitkan di dunia nyata.

Baca Juga  Swasembada Pangan: Pilar Peningkatan Ekonomi Desa saat Ramadan dan Mudik Lebaran

Di Madiun, seorang anak SMP mencoba membuat konten “prank” demi viral di media sosial. Ia menjahili temannya di jalanan, merekam dengan ponsel, lalu mengunggahnya ke kanal daring. Hasilnya, ia justru mendapat teguran dari pihak sekolah dan pendampingan karena kontennya dianggap berpotensi membahayakan. Ketika ditanya alasannya, jawabannya polos: “Kan di YouTube banyak yang gitu, Pak.”

Anak-anak kita sedang belajar memahami dunia. Tapi mereka seringkali belajar dari contoh yang salah, contoh yang mereka dapat dari layar yang bebas tanpa pagar.

Realitas ini menunjukkan bahwa penyiaran hari ini, baik televisi, radio, maupun platform digital sering kali lebih sibuk mengejar rating, viewer, dan algoritma, ketimbang menjaga nilai. Dunia siar kita, diakui atau tidak, telah berubah menjadi medan yang sering kali lepas dari kendali nurani.

Tentu, kita tidak bisa sekadar menyalahkan lembaga penyiaran. Logika bisnis, kebutuhan pasar, dan persaingan industri adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Tapi di sinilah tantangan sebenarnya. Ketika godaan pasar begitu besar, siapa yang akan menjadi benteng terakhir bagi hak-hak anak untuk mendapatkan ruang siar yang sehat?

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang disusun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebenarnya sudah jelas. Namun, di banyak kesempatan, regulasi hanya sebatas aturan yang bisa dicari celahnya, atau bahkan diabaikan jika dianggap menghambat pasar.

Baca Juga  Meningkatkan Kualitas Demokrasi Indonesia: Agenda Pembangunan yang Holistik

Karena itu, KPID Jawa Timur bukan hanya berperan sebagai pengawas. Tapi terus berusaha membangun dialog, menyuarakan pengingat, dan menegakkan teguran. Tapi kami sadar, pekerjaan ini jauh lebih besar daripada sekadar tugas pengawasan.

Penyiaran ramah anak bukanlah proyek semusim. Ia adalah ikhtiar yang harus menjadi komitmen kolektif. Tanggung jawab bersama yang melibatkan lembaga penyiaran, pemerintah, pendidik, orang tua, dan tentu saja masyarakat luas. Sebab, anak-anak bukan sekadar penonton. Mereka adalah cerminan masa depan kita semua.

Karena itu, penyiaran ramah anak adalah investasi sosial. Investasi yang, mungkin, tidak langsung tampak dalam angka-angka statistik, tetapi akan terasa dampaknya dalam jangka panjang, ketika kita mendapati generasi yang tumbuh dengan nalar sehat, rasa empati, dan kemampuan memilah yang baik.

Tentu, kita tidak bisa menutup semua kanal informasi atau membentengi anak-anak dengan tembok yang terlalu tinggi. Tetapi kita bisa dan harus membangun pagar nilai yang kokoh. Baik itu di rumah, di sekolah, di masyarakat, dan tentu saja di dunia penyiaran.

Dalam dunia yang semakin riuh, penyiaran yang ramah anak adalah suara yang harus terus diperdengarkan. Sebuah suara yang tidak kalah lantang dari gemuruh pasar, tetapi tetap lembut dalam niat, dan kuat dalam keberpihakan.

Karena bangsa ini tak akan tumbuh besar dari generasi yang dibesarkan oleh siaran yang sembrono dan konten yang bebas nilai.

Baca Juga  Martabat Bangsa

Dan karena di balik setiap siaran, selalu ada dampak yang nyata bagi nalar, bagi rasa, dan bagi masa depan mereka yang hari ini masih disebut “anak-anak”.

*) Penulis: Aan Haryono SE, M.Med.Kom
Komisioner KPID Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *