Sungai Waktu dan Jejak Keberadaan

Sungai Waktu dan Jejak Keberadaan

MAKLUMAT — Di tengah suasana kehidupan yang penuh tekanan, merenung memberikan kesempatan untuk ‘beristirahat’ dari hiruk pikuk dunia luar dan melihat ke dalam diri, mendalami sesuatu yang ensensial, dan mungkin membantu mengurangi stres karena kita tidak sendirian menghadapi tekanan kehidupan. Tulisan ini mengajak pembaca untuk berkontemplasi sekitar esensi kehidupan dalam dentang perjalanan peradaban.

Waktu dan Gerak

Ir. Hadi Prasetyo
Ir. Hadi Prasetyo

Dimulai dari pertanyaan yang bodoh dan naif, andai tidak ada gerak, masihkah ada waktu?

Dalam perspektif fisika klasik (Newton), waktu itu absolut. Newton menganggap waktu sebagai ‘aliran universal’ yang mutlak dan independen dari gerak benda. Dalam pandangannya, waktu akan tetap ada bahkan jika seluruh alam semesta diam. Namun, pengukuran waktu selalu bergantung pada gerak periodik (seperti rotasi Bumi, orbit planet). Tanpa gerak, kita tidak bisa mengukur waktu, apakah berhenti ataukah sedang berjalan.

Dalam perspektif fisika modern (Relativitas Einstein), waktu itu relatif. Einstein menunjukkan bahwa waktu dan ruang membentuk ‘ruang-waktu’ yang dinamis. Gerak memengaruhi laju waktu (dilasi waktu). Waktu tidak bisa dipisahkan dari gerak dan dinamika alam semesta.

Andai kita berfantasi dalam situasi skenario hipotesis: Jika alam semesta benar-benar diam, tanpa gerak, apakah ada perubahan? Bukankah waktu terkait erat dengan perubahan? (entropi, gerak partikel, evolusi sistem). Jika tidak ada gerak sama sekali (semua partikel diam, tidak ada interaksi, entropi konstan), maka tidak ada cara untuk membedakan ‘momen’ satu dengan lainnya. Konsep ‘sebelum dan sesudah’ kehilangan makna. Panah waktu menghilang.

Baca Juga  19 Tahun Lumpur Lapindo: Keserakahan yang Terus Berulang

Dalam pandangan filsafat dan sains (Leibniz & Relasionalisme) waktu hanyalah relasi antar peristiwa. Jika tidak ada peristiwa (gerak-perubahan), waktu tidak eksis.

Secara teoretis, jika alam semesta benar-benar statis tanpa perubahan apa pun, konsep waktu menjadi tidak bermakna. Waktu bukan entitas independen, melainkan cerminan dari dinamika dan perubahan di alam semesta.

Jadi, meskipun waktu mungkin bisa dibayangkan secara abstrak tanpa gerak, dalam realitas fisika dan pengalaman manusia, waktu dan gerak adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Tanpa gerak, waktu kehilangan esensinya.

Waktu dan Peradaban

Waktu mengalir bagai sungai purba, deras, tak terhenti, membawa debu bintang yang berubah menjadi kota-kata dan mesin. Einstein membisikkan rahasia: ‘waktu adalah anak sungai yang mengalir dalam kelukan ruang-waktu’. Tanpa rotasi planet, tanpa tarian galaksi, tanpa desah kuantum dalam ruang hampa, waktu kehilangan nadinya. Ia menjadi panggung kosong tanpa lakon, jam pasir tanpa butiran.

Di tepian sungai, peradaban manusia bermula. Leluhur menatap langit, mengukir waktu dalam putaran bulan dan musim. Mereka membangun api unggun, bercerita tentang rasi bintang, menciptakan makna dari debur sungai dan gemuruh badai. Nilai kehidupan terasa sederhana: kehangatan komunitas, keberanian menghadapi gelap, syukur pada tanah yang memberi buah.

Lalu kita mencipta roda, mesin uap, kode digital. Peradaban melesat bak meteor. Kota-kota menjulang, informasi mengalir secepat cahaya, jarak lenyap dalam genggaman gawai. Tapi di balik kemilau ini, jiwa kita merintih pertanyaan yang sama sejak purba: ’buat apa menaklukkan bulan, bila tetangga di seberang jalan mati kelaparan? Buat apa membangun menara pencakar langit, bila fondasi kemanusiaan retak oleh keserakahan?’

Baca Juga  Tulis Opini di Media Internasional, Prabowo Paparkan Pandangan Soal Kualitas Hidup Rakyat

Kemajuan material ternyata tak otomatis membawa kebijaksanaan. Kita punya jam atom yang akurat hingga miliar detik, tapi kehilangan kesabaran untuk mendengar. Kita simpan seluruh pengetahuan umat manusia di awan digital, tapi lupa seni merajut damai dalam batin. Panah waktu, yang dalam fisika lahir dari entropi, dari chaos menuju keteraturan, justru menyaksikan nilai-nilai luhur terkikis. Solidaritas menjadi transaksi, kebersamaan menjadi kompetisi, bumi yang suci menjadi komoditas.

Lalu Apa Arti Maju?

Peradaban bukanlah lomba kecepatan. Bukan pameran teknologi tanpa roh. Esensi kehidupan tak terletak pada seberapa jauh kita menjelajah angkasa, tapi seberapa dalam kita menyelami jiwa.

Lihatlah! piramida Mesir masih bisu menyimpan misteri, tapi cinta seorang ibu pada anaknya di gubuk reyot lebih abadi dari batu. Kita kirim robot ke Mars, tapi keajaiban sejati ada pada setitik embun di daun pagi, dimana simfoni molekul yang menari dalam hukum fisika, merayakan keberadaan; suatu esensi kehidupan!

Dan pikiran ini terbawa melayang, bukankah kemajuan sejati adalah ketika sains dan humanisme berpelukan. Ketika mesin tak hanya menghitung, tapi juga mengasihi. Ketika kota tak hanya memamerkan kemewahan, tapi juga memeluk kaum tersisih. Bukan ‘seberapa banyak’ yang kita punya, tapi ‘seberapa hidup’ yang kita rasakan?

Sudah saatnya bertanya: untuk siapa semua kemajuan ini? Jika jawabannya bukan untuk kebaikan bersama, untuk mengurangi penderitaan, dan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua, maka mungkin kita telah tersesat di tengah gemerlapnya kemajuan yang semu. Kemajuan dan peradaban sejati adalah kemajuan yang mengangkat harkat dan martabat setiap individu, bukan hanya segelintir elite.

Baca Juga  Viral Minuman Pororo, Jadikan sebagai Alarm Sadar Halal dan Audit Berbasis Sains

Catatan Penutup

Menemukan kembali bintang di langit yang sama mungkin menjadi kebutuhan yang nyata.

Waktu tetaplah sungai, tetapi manusia bisa memilih: hanyut sebagai debu, atau menjadi nelayan yang sabar menjaring mutiara kebijaksanaan dari arus yang liar.

Peradaban akan berarti bila kita berani bertanya: ‘Sudahkah teknologi membuat kita lebih manusiawi? Sudahkah kemewahan membawa kedamaian? Sudahkah pengetahuan membebaskan, atau masih dibiarkan membelenggu?’

Jawabannya ada pada diri kita sendiri. Hentikan lomba buta. Duduk di tepi sungai waktu. Dengarkan bisik bintang-bintang yang sama sejak zaman purba. Rangkul kemajuan, tapi jangan abaikan esensi kehidupan bahwa hidup adalah seni merasakan, mencintai, dan menghormati keberadaan.

*) Penulis: Ir. Hadi Prasetyo
Pengamat Sosial Politik; Mantan Kepala Bappeprov Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *