Kemiskinan di Kota Meningkat: “Tanpa Uang, Hidup di Kota Nyaris Berhenti”

Kemiskinan di Kota Meningkat: “Tanpa Uang, Hidup di Kota Nyaris Berhenti”

MAKLUMAT – Meski Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mencatat penurunan angka kemiskinan nasional, realitas di perkotaan justru berkebalikan. Kemiskinan di kota mengalami kenaikan, dari 6,66 persen atau 11,05 juta jiwa pada tahun lalu, menjadi 6,73 persen atau setara 11,23 juta jiwa pada Maret 2025.

Kenaikan ini menyiratkan satu hal: kehidupan di kota kian sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

“Di kota, tidak ada konsumsi tanpa pendapatan,” tegas Deni Aditya Susanto, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), seperti dilansir laman resmi UMS dikutip Selasa (5/8/2025).

Ia menyebut, ada tiga penyebab utama meningkatnya angka kemiskinan di perkotaan. Pertama, perbedaan struktural antara kota dan desa. Kedua, tingginya urbanisasi. Ketiga, rapuhnya struktur ekonomi kota terhadap guncangan ekonomi. “Kalau di desa, orang tetap bisa makan karena dekat dengan pangan. Di kota? Uang jadi segalanya,” ujar Deni.

Desa Tahan Banting, Kota Rawan Guncangan

Data BPS mencatat kemiskinan di desa justru menurun, dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen. Deputi Bidang Statistik BPS, Ateng Hartono, menyebut desa lebih tahan terhadap inflasi karena masyarakatnya dekat dengan sumber pangan dan memiliki praktik produksi lokal.

Sebaliknya, kota hidup dalam bayang-bayang belanja harian. “Tanpa uang, nyaris tak bisa hidup,” sambung Deni. Ia menambahkan, masyarakat desa masih memanfaatkan sumber daya non-moneter seperti hasil kebun, bantuan tetangga, hingga gotong royong. Di kota, individualisme merajalela dan jejaring sosial makin tipis.

Baca Juga  Harkopnas 2025, Sri Untari: Koperasi Itu Seperti Sapu Lidi

Lapangan Kerja Tak Pasti, Hidup Tak Menentu

Penyebab lainnya ialah karakter pekerjaan di kota yang cenderung fleksibel dan tak stabil. Sehari jadi juru parkir, lusa jadi pedagang kaki lima. “Fluktuasi pekerjaan ini membuat warga kota sangat rentan jatuh miskin,” kata Deni.

Ia menyebut arus urbanisasi sebagai faktor besar lainnya. “Urbanisasi dari desa ke kota luar biasa. Tapi reurbanisasi hampir tak terjadi. Kota jadi menanggung beban tambahan,” ujarnya.

Lonjakan urbanisasi ini menciptakan pasar tenaga kerja yang jenuh. Akibatnya, pengangguran terselubung meningkat. Banyak perantau bekerja di sektor informal tanpa pendapatan tetap dan tanpa jaminan sosial.

“Sebagian besar datang ke kota tanpa skill memadai, hanya ikut tetangga yang lebih dulu sukses. Tapi kenyataannya tak seindah itu,” jelasnya.

PHK Massal 2025, Kota Terpukul Paling Dalam

Sejak awal 2025, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantam berbagai sektor industri. Krisis ekspor dan konflik dagang global menurunkan permintaan barang, memaksa industri menekan produksi.

“Ketika produksi turun, pilihan tercepat untuk efisiensi ya PHK. Jual mesin butuh waktu, tapi memecat buruh bisa dilakukan segera,” ucap Deni.

Industri, lanjutnya, beroperasi berdasarkan permintaan. Jika ekspor ke negara seperti Amerika Serikat menurun karena tarif, maka imbasnya langsung terasa di pabrik.

Solusi: Perbaikan Regulasi hingga Batasi Urbanisasi

Menurut Deni, pemerintah harus segera membenahi regulasi ketenagakerjaan. Ia menyoroti lemahnya perlindungan terhadap buruh ketika perusahaan bangkrut. “Mereka bisa kabur tanpa membayar pesangon. Buruh yang jadi korban,” katanya.

Baca Juga  Naik Tarif, Turun Pendapatan? Fakta Mengejutkan Nasib Mitra Ojol 2025

Deni mengusulkan agar pemerintah menyuntikkan bantuan likuiditas ke industri, seperti di era krisis 1990-an. Tujuannya agar perusahaan tak gulung tikar dan bisa mempertahankan karyawan.

Ia juga menyarankan kebijakan yang bisa mengendalikan arus urbanisasi. “Buat pusat pertumbuhan ekonomi baru di desa atau kota kecil. Jangan semua tertarik ke Jakarta, Surabaya, atau Bandung,” ujarnya.

Deni mendorong kolaborasi antara pemerintah, kampus, dan lembaga riset. Penanggulangan kemiskinan, katanya, tak bisa hanya dari negara.

“Kampus bisa berkontribusi lewat riset dan pengabdian masyarakat. Misalnya mengkaji surplus urbanisasi, atau menciptakan solusi teknis untuk kota,” sarannya.

Ledakan Sosial di Depan Mata

Deni mengingatkan, jika kemiskinan di kota tak segera ditangani, maka risiko sosial mengintai.

“Kita bicara soal meningkatnya kriminalitas, gelandangan, pemukiman kumuh, dan ketimpangan yang semakin melebar,” tuturnya.

Ia menekankan pentingnya kebijakan menyeluruh yang menyentuh akar persoalan. “Ini pekerjaan rumah besar. Jangan sampai ledakan masalah sosial terjadi hanya karena kita lambat bertindak,” tutupnya.

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *