Ekspresi Kebangsaan Harus Berdasar Fakta Sejarah, Bukan Fiksi

Ekspresi Kebangsaan Harus Berdasar Fakta Sejarah, Bukan Fiksi

MAKLUMAT — Fenomena simbolik melalui media bendera one piece menjadi fenomena yang menyita banyak perhatian berbagai kalangan masyarakat, mulai dari kalangan akademisi, politisi, anak-anak muda, dan lain sebagainya. Berbagai sudut pandang dalam pemaknaan terhadap fenomena pengibaran bendera anime one piece bermunculan, otomatis menimbulkan reaksi yang beraneka ragam pula.

Seharusnya fenomena tersebut dapat menjadi momentum untuk bersama-sama melakukan refleksi terhadap sikap individu sebagai warga negara, maupun refleksi terhadap kebijakan negara secara institusi yang kemudian melahirkan berbagai macam dampak dan respon sosial di kemudian hari.

Ketua PDPM Kota Surabaya, Alfianur Rizal. (IST)
Ketua PDPM Kota Surabaya, Alfianur Rizal. (IST)

Beberapa sudut pandang mengarah pada sikap “dukungan” terhadap ekspresi pengibaran bendera one piece, namun ada pula yang mengarah pada “larangan”. Tentu kedua sikap tersebut harus memiliki dasar yang cukup jelas, karena sikap “dukungan” artinya memberikan peluang terhadap simbol-simbol lain untuk dapat diekspresikan pada momen tertentu secara umum. Begitu juga sikap “larangan” yang akhirnya berujung pada batasan-batasan waktu dan tempat dalam ekspresi simbolik. Keduanya tentu memliki konsekuensi sosial, maka pentingnya dasar yang kuat untuk mengatur ekspresi simbolik.

Konteks pengibaran bendera tertentu sebagai bentuk ekspresi simbolik seharusnya memiliki latar belakang yang memengaruhinya. Maka konteks latar belakang tersebutlah yang harus diperjelas, jika sekadar bersifat mengagumi sesuatu maka tidak memiliki tujuan tertentu yang cukup kompleks. Misalnya, seseorang mengibarkan bendera klub sepak bola tertentu dalam konteks sedang terjadi pertandingan pada waktu tertentu, maka dapat dimaknai pengibaran tersebut bermaksud sebagai bentuk ekspresi mengagumi serta dukung terhadap klub sepak bola tertentu, sehingga tidak memiliki konsekuensi sosial yang kompleks, karena hanya berhenti pada tujuan mengagumi dan mendukung klub sepak bola tertentu.

Baca Juga  Jujur Soal Halal

Maka dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ekspresi simbolik akan muncul di tengah masyarakat berdasarkan pada konteks waktu, tempat, dan tujuan. Sebuah hal yang kurang tepat ketika kita mengibarkan bendera klub sepak bola di tengah-tengah event konser musik yang sedang berlangsung. Pertanyaan yang muncul dari contoh kasus tersebut adalah, yang kurang tepat adalah bendera klub sepak bola atau momen dan waktu ekspresi pengibaran benderanya, atau tujuan dari pengibaran bendera klub sepak bola tersebut?

Pertanyaan tersebut tentu dapat kita tarik pada fenomena yang akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan. Apakah momen yang tepat mengibarkan bendera one piece ketika di Bulan Agustus, sebagaimana kita ketahui bahwa Bulan Agustus merupakan bulan yang dianggap “sakral” oleh negara Indonesia.

Sebagaimana fenomena yang sudah sangat umum pada bulan Agustus seluruh lapisan masyarakat mulai dari rumah di kampung-kampung bahkan instansi pemerintahan maupun swasta melakukan pengibaran bendera merah putih atau simbolik berwarna merah putih sebagai ekspresi simbolik menyambut bulan “sakral” yakni bulan di mana Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat di mata dunia.

Bukan hal yang berlebihan apabila rasa bangga terhadap kemerdekaan diekspresikan dengan mengibarkan bendera merah putih atau menyemarakkan dengan simbol-simbol bernuansa merah putih, karena ekspresi simbolik tersebut memiliki latar belakang yang sangat jelas dan bernilai positif serta memunculkan ingatan optimis bahwa Indonesia telah merdeka selama sekian puluh tahun.

Baca Juga  Fenomena Tawuran Remaja: Bukan Sekadar Kekerasan, Tapi Cermin Kegagalan Sistem

Ekspresi kebangsaan harus memiliki nilai yang dapat mendorong masyarakat pada tren positif, serta memunculkan optimis, bukan sebaliknya. Terutama pada generasi mudaa bangsa Indonesia yang harus dikenalkan serta ditanamkan nilai-nilai positi dan optimis melalui simbol-simbol yang berhubungan dengan fenomena perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia secara nyata, bukan fiksi. Maka ekspresi positif dan nilai optimis akan tertanam pada generasi muda bangsa Indonesia secara utuh, bukan setengah-setengah melalui hikmah yang dapat diambil dari sejarah kemerdekaan yang diraih oleh bangsanya sendiri.

Menjadi tanggung jawab bersama bahwa masa depan bangsa ini adalah warisan yang harus dilanjutkan oleh anak muda di kemudian hari, sehingga kenyataan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia lah yang harus diajarkan serta diwariskan kepada generasi penerus, agar api juang kemerdekaan menjadi api yang abadi dan tak kunjung padam.

*) Penulis: Alfianur Rizal
Ketua PDPM Kota Surabaya

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *