MAKLUMAT — Ada perubahan yang bisa kita rasakan tanpa perlu membaca berita atau laporan ilmiah. Udara terasa lebih panas dari biasanya, hujan datang tak menentu, dan musim seolah lupa pada jadwalnya. Di desa, sawah yang biasanya hijau kini sering retak karena kekeringan. Di pesisir, ombak datang lebih tinggi, menelan sedikit demi sedikit tanah yang dulunya jadi tempat bermain anak-anak. Semua ini bukan sekadar cuaca yang berubah, melainkan tanda bahwa bumi sedang berusaha memberi tahu kita: ada yang tidak beres.
Bagi sebagian orang, perubahan iklim terdengar seperti istilah jauh di ruang rapat para ilmuwan atau konferensi internasional. Padahal, ia hadir di halaman rumah kita. Petani merasakan gagal panen ketika hujan tak turun sesuai harapan. Nelayan sulit melaut karena cuaca yang tiba-tiba berubah. Bahkan di kota, kita merasakan banjir yang semakin sering datang, atau panas yang membuat siang terasa panjang. Data dari Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) menyebut dekade terakhir sebagai yang terpanas sepanjang sejarah. Namun di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah manusia yang kehidupannya ikut terguncang. Ada orang tua yang bingung mencari nafkah karena ladang mereka tak lagi produktif. Ada anak-anak yang harus berhenti sekolah karena keluarganya pindah akibat bencana.
Perubahan iklim bukan hanya soal suhu yang naik atau es yang mencair di kutub. Ia adalah soal kehidupan yang terguncang, mata pencaharian yang hilang, dan mimpi yang tertunda. Ia mengubah cara kita hidup, bekerja, bahkan berharap. Dan seperti semua krisis besar, mereka yang paling rentan biasanya yang terkena dampaknya paling keras. Masyarakat berpenghasilan rendah, yang tinggal di wilayah rawan bencana, sering kali tidak punya pilihan selain bertahan dengan sumber daya yang terbatas.
Dalam setiap krisis, selalu ada sosok-sosok yang bekerja tanpa banyak suara, memastikan mereka yang terdampak tidak sendirian. Pekerja sosial adalah salah satunya. Mereka hadir bukan hanya untuk membagikan bantuan ketika bencana datang, tetapi juga untuk mendengarkan, memberi semangat, dan membantu orang menemukan jalan keluar. Peran ini tidak selalu terlihat di berita, tapi dampaknya nyata. Misalnya di daerah pesisir yang terancam tenggelam, pekerja sosial bisa menjadi penghubung antara informasi ilmiah tentang kenaikan air laut dengan solusi yang bisa diterapkan warga, seperti mencari mata pencaharian baru atau memindahkan pemukiman secara bertahap.
Ada banyak contoh peran pekerja sosial yang bisa menyentuh langsung kehidupan masyarakat di tengah perubahan iklim. Di daerah pertanian yang sering dilanda kekeringan, mereka bisa memfasilitasi pelatihan bercocok tanam dengan teknik hemat air. Di kota-kota besar, mereka bisa memimpin kampanye kesadaran tentang pengelolaan sampah dan penghijauan lingkungan. Di daerah rawan banjir, mereka bisa membantu membangun sistem peringatan dini berbasis komunitas. Semua ini dilakukan dengan satu tujuan: memastikan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk beradaptasi, bertahan, dan berkembang meskipun lingkungan berubah.
Akan lebih baik jika isu perubahan iklim menjadi bagian dari pendidikan dan praktik pekerjaan sosial sejak awal. Bukan untuk menambah beban, melainkan untuk memperluas cakrawala dan kesiapan. Calon pekerja sosial bisa dibekali pengetahuan dasar tentang mitigasi dan adaptasi iklim. Mereka bisa diajarkan bagaimana mengidentifikasi risiko lingkungan, memfasilitasi diskusi komunitas tentang solusi yang sesuai, dan membangun jejaring kerja sama lintas sektor. Dalam kebijakan pemerintah, pekerja sosial sebaiknya dilibatkan dalam perencanaan penanggulangan bencana, sehingga solusi yang dibuat tidak hanya teknis, tetapi juga mempertimbangkan kehidupan dan perasaan masyarakat.
Perubahan iklim bukan hanya tantangan lingkungan, tetapi juga tantangan kemanusiaan. Saat banjir merusak rumah atau kekeringan membuat orang kehilangan pekerjaan, masalah yang muncul bukan hanya kerugian materi, tetapi juga tekanan mental, trauma, dan retaknya hubungan sosial. Di sinilah pekerja sosial memiliki peran unik. Mereka bisa membantu memulihkan kepercayaan diri masyarakat, memperkuat solidaritas, dan memfasilitasi adaptasi yang lebih manusiawi.
Tentu, ada keuntungan besar jika gagasan ini diterapkan. Kita akan memiliki masyarakat yang lebih siap menghadapi bencana, kebijakan publik yang lebih berpihak pada kelompok rentan, dan komunitas yang lebih kuat dalam menghadapi perubahan. Kesadaran akan isu iklim tidak lagi terbatas di lingkaran ilmuwan atau aktivis lingkungan, tetapi benar-benar masuk ke jantung kehidupan sehari-hari. Namun, jika gagasan ini diabaikan, risiko yang dihadapi akan semakin besar. Bencana akan datang lebih sering, kerugian ekonomi akan membengkak, dan yang paling parah, kita akan kehilangan rasa kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan bangsa.
Menghadapi perubahan iklim memang bukan tugas satu pihak saja. Pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan individu semua memiliki peran. Namun pekerja sosial memiliki posisi yang unik karena mereka ada di tengah-tengah masyarakat, memahami bahasa dan budaya lokal, serta mampu membangun kepercayaan yang dibutuhkan untuk mendorong perubahan perilaku.
Bumi sedang berbicara kepada kita lewat tanda-tanda yang kadang samar, kadang begitu jelas. Perubahan iklim bukanlah cerita orang lain—ini adalah kisah kita semua. Pekerja sosial, dengan kepekaan dan kedekatannya pada masyarakat, bisa menjadi jembatan antara ancaman yang kita hadapi dan harapan yang ingin kita jaga. Menghadapi perubahan iklim butuh kerjasama dari semua pihak. Tapi dengan hati yang mau mendengar dan tangan yang mau membantu, kita bisa melewati masa-masa sulit ini bersama. Karena pada akhirnya, menjaga bumi juga berarti menjaga satu sama lain. Dan ketika kita menjaga satu sama lain, kita sedang membangun masa depan yang lebih kokoh, di mana generasi berikutnya tidak hanya mewarisi bumi yang layak huni, tetapi juga warisan kebersamaan yang tidak tergoyahkan.
______________
*) Artikel ini sudah pernah dipublikasikan sebelumnya dengan judul yang sama di laman resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)