
MAKLUMAT — Sudah lama saya penasaran dengan sosok yang satu ini: Soetrimo. Orang-orang di Tulungagung memanggilnya Mbah Trimo. Ia bukan pejabat. Bukan tokoh publik. Tidak pula sering muncul di media. Tapi apa yang dia lakukan bikin banyak orang takjub. Menunduk kagum.
Mbah Trimo adalah sosok yang membangun Masjid Al-Fattah. Sebuah masjid megah yang kini menjadi ikon Kota Tulungagung. Nilai pembangunannya disebut mencapai Rp80 miliar!

Masjid itu berdiri tegak, menampilkan kemewahan arsitektur yang memukau. Namun, di balik kemegahan fisiknya, terdapat nilai spiritual yang jauh lebih dalam: ketulusan.
Tak hanya membangun masjid, Mbah Trimo juga menyerahkan cek senilai Rp10 miliar untuk dana abadi masjid. Dana itu bukan untuk dirinya. Bukan pula untuk branding keluarga atau perusahaan. Dana itu ia wakafkan kepada Muhammadiyah.
Beberapa tahun sebelumnya, Mbah Trimo bertemu KH. Saad Ibrahim. Waktu itu, Kiai Saad masih menjabat Ketua PWM Jatim, dan kini menjabat Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Di hadapan beliau, Mbah Trimo menyampaikan niatnya mewakafkan masjid. Bersamaan dengan itu, cek Rp10 miliar diserahkan tanpa banyak kata.
Masjid Al-Fattah kemudian diresmikan, tahun 2022. Yang meresmika Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir. Hadir pula, Jusuf Kalla (mantan Wapres RI) dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Sejak saat itu, Masjid Al-Fattah resmi berada di bawah pengelolaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
Apa yang dilakukan Mbah Trimo belum berhenti di situ. Dia kemudian mengundang Ustaz Jazir dari Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, untuk berceramah di masjidnya. Tema ceramah hari itu adalah wakaf.
Usai ceramah, disaksikan oleh Ustaz Jazir dan PDM setempat, Mbah Trimo mengumumkan bahwa ia mewakafkan 12 SPBU alias pom bensin miliknya kepada Muhammadiyah. Dua belas stasiun pengisian bahan bakar umum. Sebuah keputusan yang barangkali sulit dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Yang menarik, di tengah semua yang telah dia berikan, gaya hidup Mbah Trimo tetap sederhana. Ia memilih tinggal di masjid. Menjadi marbot. Membantu menyiapkan makanan dan minuman bagi jamaah saat pengajian dan bulan puasa. Dia hadir sebagai pelayan umat. Bukan sebagai pemilik proyek besar.
Pendidikan formal Mbah Trimo tidak tinggi. Ia hanya lulusan sekolah rakyat atau SD. Namun, itu tak membatasi langkahnya.
Di dunia usaha, ia dikenal sebagai salah satu importir kacang tanah terbesar di Indonesia dari Amerika. Secara ekonomi, dia tergolong crazy rich. Tapi tidak ada tanda-tanda kemewahan yang menempel pada dirinya.
Keputusan-keputusannya tidak lahir dari hitung-hitungan untung rugi, tapi dari keyakinan. Bahwa harta yang sejati adalah yang ditanamkan untuk kehidupan akhirat.
Mbah Trimo tidak bicara banyak. Tapi tindakannya menjawab banyak hal: tentang keikhlasan, tentang wakaf, tentang menjadi Muslim yang bermanfaat.
Dalam dunia yang kerap menilai orang dari gelar, jabatan, dan pencitraan, kisah Mbah Trimo hadir sebagai penyejuk.
Dia menunjukkan bahwa kemuliaan tidak selalu datang dari panggung, tapi bisa lahir dari serambi masjid, dari tangan seorang marbot yang diam-diam mewakafkan hartanya untuk umat.
***
Apa yang dilakukan Mbah Trimo, sejatinya, bukan sekadar membangun fisik masjid, melainkan menghidupkan kembali peran masjid dalam kehidupan umat.
Dalam sejarah Islam, masjid bukan hanya tempat salat. Ia adalah pusat pendidikan, tempat musyawarah, basis perjuangan sosial, dan rumah bagi jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan.
Masjid adalah rumah Allah. Maka, setiap amal untuk memakmurkannya adalah bentuk cinta kepada-Nya.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka Allah akan bangunkan untuknya rumah di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tapi kemakmuran masjid bukan hanya diukur dari megahnya bangunan, indahnya kubah, atau luasnya halaman. Ia terletak pada seberapa hidupnya masjid itu dalam aktivitas ibadah, dakwah, dan pelayanan sosial.
Mbah Trimo memahami hal ini dengan baik. Dia tak hanya mewakafkan hartanya untuk membangun masjid, tapi juga menempatkan dirinya sebagai bagian dari denyut nadi masjid itu sendiri. Dia tinggal di dalamnya. Membersihkan lantainya. Melayani jamaah. Dia menjadikan masjid bukan hanya bangunan, tapi kehidupan.
Sayangnya, tak sedikit masjid di negeri ini yang hanya megah di fisik, namun sepi dari aktivitas. Didirikan dengan biaya miliaran, tapi nyaris tak punya agenda dakwah. Tak ada taman pendidikan Al-Qur’an. Tak menjadi tempat berkumpulnya generasi muda.
Padahal, semestinya, masjid menjadi ruang pengasuhan ruhani dan sosial. Tempat di mana orang-orang merasa damai, dihargai, dan dipandu menuju kebaikan.
Itulah mengapa, masjid harus dimakmurkan. Bukan hanya oleh donatur, tapi oleh semua lapisan umat. Oleh takmir yang visioner, oleh jamaah yang aktif, oleh anak-anak muda yang ingin dekat dengan
Allah. Memakmurkan masjid adalah bentuk nyata mencintai agama, menyuburkan ukhuwah, dan menjaga warisan Rasulullah.
Saya belum pernah bertemu langsung dengan Mbah Trimo. Tapi, saya merasa Mbah Trimo telah memberi teladan. Dia tidak menunggu kaya untuk memberi. Tidak menunggu panggung untuk berbuat.
Mbah Trimo membuktikan bahwa siapa pun bisa menjadi bagian dari upaya memakmurkan masjid—dengan tenaga, waktu, ilmu, atau harta.
Semoga, kisah Mbah Tromo menggerakkan kita semua untuk lebih mencintai masjid. Menjadikannya masjid sebagai pusat kehidupan, serta menabur amal di tempat paling mulia di muka bumi—rumah Allah yang memanggil setiap hati yang rindu akan kedamaian.
*) Penulis adalah Wartawan Senior dan Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim