MAHKAMAH Konstitusi (MK) Republik Indonesia memutuskan syarat pendaftaran Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) harus berusia minimal 40 tahun atau berpangalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal itu setelah MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS) Almas Tsaqibbirru, Senin (16/20/2023) kemarin
Almas Tsaqibbirru dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 mengajukan uji materi terhadap UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia minimal capres-cawapres menjadi berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Atas putusan MK tersebut, 4 dari 9 hakim MK memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Arief Hidayat, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.
“Saya bingung dan benar-benar bingun untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menjejakkan kaki di Mahkamah Konstitusi sebagai hakim MK di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017 atau sekitar 6,5 tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh, yang luar biasa, dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi Isra usai sidang pembacaan putusan, Senin (16/10/2023).
Saldi mengungkapkan, Putusan MK terhadap perkara nomor 29-52-55/PUU-XXI/2023 telah secara lugas, eksplisit, dan tegas menyatakan bahwa norma Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU untuk mengubahnya. Dia juga menyebut ketidakhadiran Hakim Ketua MK Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutuskan perkara tersebut.
“RPH tanggal 19 tidak dihadiri Anwar Usman. Hasilnya, 6 hakim sebagaimana amar putusan nomor perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak dan tetap memosisikan pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka. Sementara dua hakim memilih sikap berbeda,” terangnya.
Perubahan, kata Saldi, mulai terjadi saat perkara nomor 90-91/PUU-XXI/2023 muncul dan RPH dihadiri 9 hakim, termasuk Anwar Usman. Para hakim mulai ‘tertarik’ dengan alternatif, padahal secara substansial sudah disebut open legal policy.
“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus menjadi sembilan orang, tidak hanya sekedar membelokkan pertimbangan dari amar putusan, tapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah embel-embel sebagian sehingga menjadi mengabulkan sebagian,” jelas Saldi.
Saldi menyebut, setelah membaca secara komprehensif dan seksama perkara 90/PUU-XXI/2023, alasan pemohon jelas-jelas bertumpu pada ‘berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota’. Bahkan secara kasar mata, permohonan tersebut menggunakan pengalaman sekaligus keberhasilan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih. Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah mahkamah bergerak sejauh ini?
Menurut Saldi, 5 hakim di gerbong mengabulkan sebagian, tak bulat satu pendapat. 3 Hakim memaknai norma Pasal 169 huruf q memadankan ‘paling rendah 40 tahun’ dengan ‘atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu, termasuk Pemilukada’.
Dua hakim lainnya memadankan batas usia itu dengan ‘pernah/sedang menjabat sebagai gubernur’, tapi kriteria gubernur diserahkan kepada pembentuk UU.
“Petitum pemohon a quo hanya memohon: menyatakan pasal 169 huruf q UU 7/2017 ‘berusia paling rendah 40 tahun’ bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota’. Mengapa amarnya bergeser menjadi ‘atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk Pemilukada?'” tandas Saldi.
Seperti diketahui, putusan MK untuk mengabulkan sebagian permohonan pemohon dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 setelah sebelumnya menolak seluruh permohonan dalam perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mengubah batas usia minimal Capres-Cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun, serta perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda dan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah, terkait Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilu. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto