RAPBN 2026: Antara Asta Cita dan Tantangan Tata Kelola

RAPBN 2026: Antara Asta Cita dan Tantangan Tata Kelola

MAKLUMAT — Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026 menampilkan wajah ambisius pemerintah dalam mewujudkan delapan program prioritas yang selaras dengan visi Asta Cita. Delapan agenda itu terdapat dalam program ketahanan pangan, ketahanan energi, pendidikan berkualitas, kesehatan universal, penguatan ekonomi rakyat melalui koperasi, modernisasi pertahanan, percepatan investasi, dan peningkatan perdagangan global. Program tersebut dirancang tidak sekadar sebagai daftar kebijakan sektoral, tetapi sebagai sebuah ekosistem pembangunan yang saling menopang.

Dalam kerangka besar Asta Cita, pemerintah berambisi menghadirkan pembangunan yang saling menguatkan antar sektor. Pendidikan, misalnya, tidak lagi dipandang semata sebagai proses mencetak generasi cerdas, tetapi juga sebagai motor peningkatan produktivitas ekonomi rakyat. Ketahanan energi pun diarahkan bukan hanya untuk menjamin ketersediaan pasokan, melainkan sebagai landasan kokoh bagi percepatan investasi dan penguatan daya saing global. Ikhtiar yang terwujud dalam pendekatan integratif semacam ini, menunjukkan keseriusan pemerintah mewujudkan cita-cita besar Asta Cita sekaligus menghindari jebakan pembangunan parsial yang kerap gagal menjawab persoalan mendasar bangsa.

Namun, di balik optimisme tersebut, tantangan implementasi masih membayangi. Kelemahan sistem data distribusi pangan dan gizi berisiko membuat program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak tepat sasaran, bahkan cenderung lebih banyak dinikmati sekolah-sekolah yang sudah relatif mampu.

Di sektor pendidikan, meski alokasi anggaran mencapai titik historis tertinggi, persoalan klasik mengenai penempatan guru di daerah 3T tetap menghantui dan bisa memperlebar ketimpangan kualitas pendidikan. Begitu juga dengan pola kerja birokrasi yang masih sektoral, yang berpotensi mereduksi semangat ekosistem menjadi sekadar jargon di atas kertas.

Baca Juga  Menyikapi Pengibaran Bendera One Piece

Di tengah berbagai ambisi tersebut, pemerintah tetap menekankan sikap kehati-hatian fiskal. RAPBN 2026 diproyeksikan menimbulkan defisit sebesar 2,48 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), angka yang lebih rendah dari batas aman historis sebesar 3 persen. Hal ini menunjukkan pendekatan fiskal yang prudent, menjaga keseimbangan antara ekspansi pembangunan dan stabilitas makroekonomi.

Meski demikian, ketergantungan pada investasi asing masih menjadi bayang-bayang. Dalam konteks percepatan investasi dan perdagangan global, keterlibatan modal asing memang tidak terhindarkan, tetapi jika dominasi terlalu besar, kedaulatan ekonomi nasional dapat rentan terhadap guncangan eksternal.

Refleksi RAPBN 2026

Di sinilah refleksi penting perlu diajukan. RAPBN 2026 jelas memuat niat baik negara untuk menjawab kepentingan negara, tetapi niat itu hanya akan berbuah nyata jika persoalan struktural birokrasi mampu diselesaikan. Data yang akurat, distribusi yang adil, serta koordinasi lintas sektor yang efektif menjadi kunci utama agar program-program raksasa ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat, khususnya kelompok yang paling membutuhkan.

Terdapat beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian. Pertama, kebijakan pemerintah melalui RAPBN 2026 dalam implementasinya tidak hanya berorientasi pada pencitraan simbolik atau sekadar pada capaian administratif bahwa program terlaksana. Lebih dari sekadar seremonial anggaran, RAPBN harus menyentuh substansi persoalan nyata (evidence-based), yang dihadapi masyarakat: kemiskinan yang masih tinggi, ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar, pengangguran yang belum tertangani secara sistematis, hingga kerentanan pangan dan energi yang mengancam kedaulatan bangsa. Tanpa orientasi substantif ini, program-program berisiko kehilangan legitimasi publik karena gagal menjawab kebutuhan mendasar warga.

Baca Juga  Retreat Kepala Daerah: Antara Manfaat Strategis dan Tantangan Akuntabilitas

Kedua, implementasi program perlu dipantau dengan ketat agar terhindar dari praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sejarah menunjukkan bahwa korupsi anggaran sering kali justru menggerus kepercayaan publik dan merusak tujuan program yang sejatinya mulia. Mekanisme pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat, termasuk dengan membuka ruang partisipasi publik dan transparansi data, sehingga masyarakat dapat ikut serta menjadi pengawas dalam jalannya kebijakan.

Ketiga, penguatan data dan tata kelola digital merupakan prasyarat mutlak. Kelemahan distribusi pangan, misalnya, hanya bisa diselesaikan dengan sistem data yang terpadu dan akurat lintas kementerian, lembaga, dan daerah. Tanpa basis data yang kuat, kebijakan berisiko salah sasaran, bahkan memperparah ketimpangan. Transformasi digital dalam tata kelola anggaran bukan hanya soal teknologi, melainkan tentang membangun ekosistem kebijakan yang lebih adaptif, akuntabel, dan responsif terhadap dinamika masyarakat.

Keempat, pemerintah harus memastikan pemerataan akses di daerah-daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Anggaran pendidikan dan kesehatan yang meningkat tidak akan berarti jika masih ada anak-anak di wilayah perbatasan yang sulit menjangkau sekolah, atau masyarakat di pulau terpencil yang kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar. Oleh karena itu, distribusi sumber daya manusia, infrastruktur, dan layanan publik harus diarahkan untuk mengurangi kesenjangan struktural antara pusat dan pinggiran.

Kelima, dalam konteks investasi dan perdagangan global, pemerintah memang membutuhkan modal asing untuk mempercepat pertumbuhan. Namun, keseimbangan dengan kedaulatan ekonomi nasional tidak boleh diabaikan. Investasi asing perlu diarahkan dengan strategi jelas agar tidak sekadar menjadikan Indonesia sebagai pasar atau penyedia bahan mentah, melainkan benar-benar sebagai pusat produksi bernilai tambah. Regulasi yang mendukung transfer teknologi, penguatan BUMN strategis, dan pemberdayaan koperasi serta UMKM harus berjalan seiring agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada modal eksternal.

Baca Juga  QRIS dan GPN Disorot AS, Komisi XI DPR RI: Ini Simbol Kemandirian Digital Indonesia

Dengan memperhatikan rekomendasi tersebut, RAPBN 2026 dapat melampaui sekadar dokumen fiskal tahunan dan menjelma sebagai instrumen transformasi sosial-ekonomi yang nyata.

Harapannya, visi besar Asta Cita tidak berhenti pada tataran simbolik, tetapi benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat melalui kebijakan yang substantif, transparan, inklusif, dan berkeadilan.

*) Penulis: Muhammad Fajrus Shodiq, S.IP., M.KP.
Dosen Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Bidang Advokasi dan Kebijakan MPM PP Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *