Flexing Pejabat dan Luka Sosial Rakyat Kecil

Flexing Pejabat dan Luka Sosial Rakyat Kecil

MAKLUMAT — Demonstrasi bukan sekadar teriakan di jalan. Bagi buruh, nelayan, petani, juga mahasiswa—itulah ruang terakhir ketika pintu formal macet.

Said Iqbal, Presiden Partai Buruh, mengingatkan hal itu usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Senin, 1 September 2025. Ia menegaskan: demonstrasi harus diberi ruang. Konstitusional. Damai. Tanpa anarki. Pesan yang sederhana, tapi terasa menohok di tengah lebarnya jarak antara elite dan rakyat kecil.

Namun bukan hanya demonstrasi yang ia soroti. Iqbal menyentil gaya hidup hedonis sejumlah pejabat. Flexing di tengah badai PHK, upah murah, dan kemiskinan hanyalah ironi.

Bagaimana mungkin rakyat diminta menahan lapar, sementara para wakilnya sibuk pamer mobil mewah, jam tangan mahal, dan pesta glamor? Yang tercabik bukan hanya rasa keadilan, melainkan juga kepercayaan publik.

Mengutip Antara, psikolog UGM, Novi Poespita Candra, menyebut fenomena pamer harta sebagai candu. Ia memicu dopamin, memberi kepuasan sesaat, tapi mematikan kepekaan sosial.

Para pejabat lupa pada makna terdalam: melayani rakyat. Bahaya terbesar justru di sini—kekuasaan bergeser dari amanah menjadi panggung eksistensi. Alih-alih menyalakan akal sehat, mereka tunduk pada nafsu dari ruang gelap sistem limbik, struktur otak yang mengatur emosi, perilaku, motivasi dan memori.

Pamer harta semakin menemukan jalannya di media sosial. Cekrak-cekrek mobil sport, jam tangan mewah, mainan setengah miliar, dan rumah mewah harga ratusan miliar. Semua dengan mudah dipamerkan di Instagram, Tiktok, Facebook, dan Youtube.

Baca Juga  Setelah Pelantikan, Prabowo Bakal Umumkan Kabinet Usai Gala Dinner

Para flexinger — pejabat yang suka flexing— itu seolah lupa kalau hal itu menyakitkan kaum miskin di negeri ini. Puluhan foto harta benda dan kemewahan menjadi teror setiap hari. Tampil di beranda hingga bikin ngiler rakyat negeri Konoha.

Padahal teladan kesederhanaan sudah lama ditawarkan agama, budaya, dan sejarah bangsa ini. Islam mengajarkan qanaah, merasa cukup dengan rezeki Allah, serta melarang hidup boros yang disebut perilaku setan. Nabi Muhammad SAW mencontohkan hidup sederhana, meski kekuasaan ada di tangannya. Kesederhanaan bukan sekadar moralitas pribadi. Ia adalah benteng sosial, agar jurang kaya-miskin tak makin menganga.

Di hadapan Presiden, Iqbal membawa enam tuntutan buruh: dari percepatan RUU Ketenagakerjaan hingga penghapusan pajak atas THR dan pesangon. Semua berpulang pada satu kata: keadilan. Rakyat tak butuh simbol kemewahan. Mereka butuh kepastian kerja, upah layak, dan harga kebutuhan yang terjangkau. Flexing pejabat hanya memperlebar luka sosial, apalagi ketika janji politik tak kunjung ditunaikan.

Karena itu, editorial ini menegaskan: pejabat publik harus berhenti memamerkan kekayaan. Bukan semata soal etika, melainkan soal legitimasi sosial. Dalam demokrasi, kekuasaan bertahan bukan karena citra, tapi karena kepercayaan rakyat. Dan kepercayaan itu lahir dari sikap sederhana, rendah hati, serta keberanian berpihak pada yang lemah.

Jika elit terus larut dalam flexing, jangan heran bila jalanan kembali menjadi panggung perlawanan. Sebab bagi rakyat kecil, demonstrasi adalah suara terakhir yang mereka punya.

Baca Juga  Ustaz Adi Hidayat Usulkan Tambang untuk Dongkrak Kesejahteraan Guru
*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *