MAKLUMAT – Kerusuhan yang pecah dalam beberapa hari terakhir tak hanya menyisakan puing-puing di jalanan. Ruang publik digital, terutama media sosial, penuh dengan ragam narasi yang saling bertabrakan. Mulai dari analisis yang tenang dan rasional, sampai spekulasi liar bernuansa konspiratif.
“Situasi ini memperlihatkan dinamika wacana yang kompleks di masyarakat digital,” ujar Radius Setiyawan, pakar Kajian Budaya dan Media dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
Arus informasi yang deras di media sosial memang menghadirkan dilema. Di satu sisi, masyarakat bisa dengan cepat mengetahui perkembangan terkini.
Namun di sisi lain, potensi hoaks dan disinformasi justru makin besar, terutama ketika situasi sosial-politik sedang rapuh. Radius mengingatkan, derasnya banjir konten digital sering kali memperkeruh suasana, bukannya menenangkan.
Dalam kondisi demikian, peran pemerintah menjadi krusial. Pria yang juga Wakil Rektor IV UMSurabaya ini meminta adanya transparansi informasi dan kecepatan respons publik tidak bisa ditawar.
Namun, langkah komunikatif itu harus dilakukan dengan hati-hati. “Langkah yang tergesa tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis masyarakat dapat memperburuk keadaan,” katanya.
Penting Saring Informasi
Meski begitu, ada perkembangan yang perlu ada apresiasi. Radius melihat masyarakat digital kini semakin kritis dalam menyaring informasi. Tak sedikit pengguna media sosial yang mampu membedakan antara demonstrasi damai dan aksi anarkis yang berujung penjarahan.
Bahkan, banyak di antaranya yang menguatkan argumen dengan data dan fakta relevan. “Ini menunjukkan peningkatan literasi media. Masyarakat makin cakap memilah informasi yang valid dan menyesatkan,” tambahnya.
Radius juga menyoroti faktor lain yang jarang menjadi tema pembicaraan: kerusuhan sering kali tidak muncul secara spontan. Ada kecenderungan keterlibatan aktor-aktor tertentu yang sengaja mengarahkan massa menuju tindakan destruktif.
Manipulasi emosi kerumunan, ujar Radius, bisa dengan cepat berubah menjadi amarah kolektif, lalu berujung pada kekerasan seperti pembakaran dan penjarahan.
Untuk itu, ia menekankan perlunya pendekatan multidisipliner. Analisis dari sisi sosial, psikologi massa, hingga kajian media dibutuhkan untuk membaca akar persoalan lebih dalam. Dengan begitu, masyarakat dan negara bisa belajar agar kerusuhan serupa tak kembali terulang—baik di jalanan maupun di ruang digital media sosial.