Ketika TNI Tersandung Batas Konstitusi: Belajar dari Kasus Ferry Irwandi dan Putusan MK

Ketika TNI Tersandung Batas Konstitusi: Belajar dari Kasus Ferry Irwandi dan Putusan MK

MAKLUMAT – Berita tentang TNI yang hendak melaporkan Ferry Irwandi ke polisi sontak ramai dibicarakan. Ferry, konten kreator sekaligus pendiri Malaka Project, disebut mencemarkan nama baik institusi. Kabar ini dengan cepat menyebar, mengundang perdebatan: apakah sebuah institusi negara boleh merasa tercemar, lalu menuntut warganya?

Masalahnya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru empat bulan lalu, tepatnya 29 April 2025, mengetok palu: hanya individu yang bisa melaporkan pencemaran nama baik. Putusan nomor 105/PUU-XXII/2024 itu jelas melarang lembaga, institusi, atau korporasi membawa nama “kehormatan” mereka ke meja polisi. Dengan kata lain, hukum sudah menarik garis tegas: kritik pada lembaga bukan delik pidana.

 

Lantas Mengapa TNI Masih Bersikeras?

Mungkin ada dugaan tindak pidana lain yang mereka lihat. Tapi yang jadi soal, publik justru menangkap pesan berbeda: bahwa langkah ini lebih mirip upaya membungkam suara kritis ketimbang penegakan hukum.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra pun menegaskan korban pencemaran nama baik itu individu, bukan institusi. “ Saya kira clear masalah itu,’’ katanya.

Hal senada juga datang dari DPR hingga Kompolnas, yang mengingatkan polisi agar berpegang pada konstitusi. Karena ketika hukum dipakai untuk membela nama baik lembaga, bukan individu, maka yang terancam bukan sekadar Ferry, tetapi seluruh kebebasan berbicara warga negara.

Kasus ini lebih dari sekadar sengketa hukum. Ia adalah cermin betapa rapuhnya relasi negara dengan warganya. Demokrasi seharusnya menyediakan ruang aman bagi kritik, bahkan kritik yang pahit sekalipun. Tapi kenyataannya, kritik sering kali diperlakukan sebagai ancaman.

Baca Juga  RUU TNI dan Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045

Kita perlu jujur bertanya, apakah negara benar-benar siap mendengar rakyatnya? Atau justru masih terjebak pada warisan lama, di mana suara berbeda dianggap musuh yang harus dibungkam?

Ferry Irwandi hanyalah satu contoh. Hari ini dia yang dipersoalkan, besok bisa jadi orang lain. Dan jika putusan MK diabaikan, hukum kehilangan wibawanya, digantikan rasa tersinggung institusi.

Pada akhirnya, kasus ini mengingatkan kita semua bahwa kebebasan berekspresi bukan hadiah dari negara, melainkan hak yang dijamin konstitusi. Jika institusi tak siap dikritik, mungkin masalahnya bukan pada rakyat yang bersuara, melainkan pada institusi itu sendiri.

Dan pertanyaan itu kembali bergaung di ruang publik,  jika kritik dianggap kejahatan, lalu di mana lagi rakyat bisa bersuara?

*) Penulis: Rista Erfiana Giordano
Divisi Humas Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PWM Jatim, Redaktur Senior maklumat.id dan Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *