Maklumat 17+8, Simbol Perlawanan dan Ingatan Kolektif

Maklumat 17+8, Simbol Perlawanan dan Ingatan Kolektif

MAKLUMAT — Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia (1980) tidak sekedar menyampaikan cerita. Tetapi Pram juga mewariskan ingatan yang menggema: “Kita telah melawan, nak, nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Sebuah ingatan tentang seruan moral—bahwa menyerah bukanlah pilihan, meskipun dunia menolaknya.

Penulis: Salman A Ridwan. Foto:Dok Pribadi

Dari gema itu, kita memahami bahwa suara jiwa dan nurani setiap manusia menolak untuk selalu dilupakan. Bumi manusia yang tidak boleh terhenti, sekalipun terganjal oleh jeda. Karena salah satu bentuk melawan adalah unjuk keberanian untuk bersuara ketika dunia memaksanya diam.

Di tengah kesunyian dan ketidakpastian, kewarasan harus terus dijaga. Lentera yang sudah dinyalakan mungkin boleh redup, tetapi tak boleh padam. Dalam konteks perjuangan rakyat yang dibangun hingga hari ini, ingatan atas luka menjadi sangat penting agar tidak lekang oleh waktu. Pasca terjadinya demonstrasi Agustus 2025, lahirlah sebuah agenda politik yang perlu dikawal secara bersama: 17+8.

Ingatan itu harus tetap dijaga karena peristiwa demonstrasi akhir Agustus lalu telah menelan korban: sepuluh orang meninggal dunia dan tiga masih hilang. Angka-angka itu bukan statistik, melainkan jejak perjuangan dalam menuntut keadilan.

Agar suara kita tidak lenyap, dari medan politik yang telah dibangun bersama, maka kita tidak boleh meninggalkan medan itu, sebab meninggalkan medan politik yang telah dibangun itu adalah bentuk dari kekalahan.

Baca Juga  Pendidikan Anak Bermasalah di Barak Militer Tuai Kritik, KPAI: Hanya Memberikan Dampak Sementara

Sebagai wujud tuntutan rakyat, 17+8 bukanlah sekadar angka. Ia adalah simbol harapan yang dimasak oleh bumbu perjuangan dan keringat. Tuntutan yang menjadi tawaran politik untuk mendesak elit agar mereka dapat menjalankan tugasnya: mewujudkan kehendak rakyat, bukan sekadar menjalankan kerja administratif.

Secara singkat, tuntutan 17+8 adalah agenda politik yang memiliki tujuan untuk melakukan pembenahan terhadap tata kelola pemerintahan, tugas partai politik, pembenahan institusi kepolisian, tugas TNI, dan sektor ekonomi. Di dalamnya terdapat 17 poin tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang. Tuntutan ini merupakan rangkuman dari desakan yang muncul sejak meluasnya demonstrasi pada Kamis, 25 Agustus 2025.

17+8 bukanlah agenda politik yang tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan ia lahir dari atas aspal yang pekat, suara-suara harapan yang menggantung di atas luka sejarah, juga dari semangat anak-anak pelajar sekolah yang menyala. Oleh karena itu, tuntutan 17+8 ini hadir sebagai agenda politik yang menedesak.

Ketika agenda politik ini masih tersangkut oleh janji elit kekuasaan, kesadaran ini tentu tidak boleh diam. Kesadaran ini harus menentukan sikap kepada kita yang sudah berjuanag dan bersuara: untuk terus berdiri, memperkuat barisan, dan menjaga nyala api perjuangan yang sudah dinyalakan. Kita yang bersuara dan yang melawan adalah manusia-manusia yang sudah bertarung untuk mempertahankan kedaulatan bersama.

Politik bukanlah sekadar parade ekspresi. Politik adalah seni untuk memenangkan kepentingan bersama. Kepentingan yang dibentuk dari suara-suara parau di jalanan,  keringat, dan air mata yang menjadi saksi adanya ketidakadilan. Dari sinilah solidaritas itu bertumbuh, ia menyatu dalam nadi warga yang menolak untuk dibungkam.

Baca Juga  Kampung Haji Segera Hadir di Arab Saudi, Ini Skema yang Disiapkan Pemerintah

Tuntutan 17+8 adalah perjuangan yang tak boleh berhenti hanya sebagai ingatan. Ia harus menjelma dalam wujud kebijakan baru. Karena tuntutan yang bersanding dalam poin-poin itu adalah bentuk amanat rakyat, bukan slogan kosong tanpa makna penuh euforia.

Sampai hari ini, kita masih belum juga melihat sejauh mana tuntutan 17+8 itu menjadi sebuah keputusan pasti. Tuntutan itu masih disimpan dalam ruang-ruang rapat para pengendali kebijakan. Di tengah hati yang masih sedang menunggu ini pula kita harus tetap bersuara, agar agenda ini terus ramai dibicarakan saat ruang-ruang sosial semakin sunyi.

Gerakan “warga jaga warga” adalah prinsip yang harus terus tetap dijaga, sampai tuntutan itu bisa benar-benar terpenuhi. Gerakan ini harus tetap menjadi semangat dalam pengawalan, ia  tidak boleh larut oleh janji-janji kekuasaan yang mengemban amanat tersebut. Kita harus terus menagihnya hingga tuntas.

Kita tidak boleh lengah, karena sedikit saja lengah kekuasaan akan kembali melindasnya. Seperti itulah logika kekuasaan bekerja. Karena kekuasaan tidak pernah belajar dari pengalaman sejarah dan tak pernah malu dengan tindakan-tindakan pandirnya.

Lahir dari jalanan, 17+8 hadir sebagai harapan yang  membawa martabatnya sendiri, dengan pikiran dan kata-kata. Meski tuntutan itu lahir di tengah hantaman gas air mata dan arogansi mobil rantis polisi, 17+8 adalah bagian dari bentuk kehormatan kita bersama.

Dengan terus mengawal agenda 17+8, kita sudah menjaga kewarasan di tengah kegilaan politik yang semakin banal. Kita mengawal karena ada janji yang belum ditepati. Darisinilah hak kita sebagai warga negara wajib menagihnya.

Baca Juga  Totalitas Pemuda Negarawan

Untuk semua yang masih setia dalam mengawal tuntutan 17+8 ini, sekecil apa pun tindakan dan sekecil apa pun kita bersuara, kita adalah manusia-manusia yang sudah melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Kita adalah saksi yang menumbuhkan perlawanan ini dengan luka dan cinta.***

 

*) Penulis: Salman A Ridwan
Guru Sejarah SMA,Mantan Ketua Cabang IMM Jakarta Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *