Muhammadiyah Diminta Promosikan Risalah Islam Berkemajuan ke Dunia

Muhammadiyah Diminta Promosikan Risalah Islam Berkemajuan ke Dunia

MAKLUMAT – Risalah Islam Berkemajuan (RIB) tidak boleh berhenti sebagai dokumen internal Muhammadiyah. RIB harus menjadi instrumen promosi gagasan besar Muhammadiyah ke dunia internasional dengan terjemahan resmi berbahasa Arab dan Inggris.

Pandangan itu disampaikan Dr. Takdir Ali Mukti, S.Sos., M.Si., dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema RIB dalam Perspektif Sosial Politik dan Hubungan Internasional yang digelar Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pusdiklat Tabligh Institute Muhammadiyah, Bantul, DI Yogyakarta, Sabtu (13/9/2025).

Takdir menegaskan, RIB merupakan dokumen terbuka yang bisa diuji secara akademik, baik melalui verifikasi maupun falsifikasi, dari internal maupun eksternal Muhammadiyah. “Membaca RIB juga harus siap dengan objektifikasi ketika disodorkan ke lembaga-lembaga luar,” ujarnya.

Ia membandingkan metode itu dengan pembukaan Surah Al-Baqarah yang menggunakan kata dzālika. Menurutnya, pilihan kata tersebut menandai proses objektifikasi dari luar, bukan klaim internal. Bahkan, kata dzālika mengisyaratkan perbandingan dengan kitab suci lain. Karena itu, katanya, membaca RIB juga harus dengan perspektif terbuka, bukan klaim eksklusif.

Dalam paparannya berjudul Perkhidmatan Kebangsaan, Takdir menyinggung konsep Negara Pancasila, NKRI sebagai Dārul ‘Ahdi wa Syahādah, dan misi rahmatan lil-‘ālamīn. Ia menilai nasionalisme dalam Muhammadiyah harus dimaknai secara nasionalis-kosmopolitan. “Indonesia dengan NKRI-nya harus dipahami dalam bingkai nasionalis-kosmopolitan. Artinya, loyal pada negara sendiri sekaligus memiliki semangat kebersamaan global,” jelasnya.

Baca Juga  Peringati Hari Juang Polri di Surabaya, Kapolri Jenderal Sigit: Simbol Dedikasi dan Komitmen

Ia menekankan, KH. Ahmad Dahlan sejak awal sudah berpikir kosmopolit. Pidato pendiri Muhammadiyah pada 1922 tentang kesatuan hati umat manusia menjadi bukti bahwa Muhammadiyah sejak awal membawa visi nasionalis-kosmopolitan. Visi ini berbeda dengan organisasi transnasional seperti HTI atau Ikhwanul Muslimin yang mendorong khilafah global.

“Muhammadiyah mengajarkan loyalitas kepada negara sekaligus menuntut warganya bersatu dengan warga bangsa lain dalam misi kemanusiaan global. Bukan nasionalisme sempit seperti katak dalam tempurung, tapi nasionalisme-kosmopolitan ala burung garuda yang terbang tinggi melihat horizon luas,” tutur Takdir.

Dalam konteks itu, menurutnya, logis bila KH. Ahmad Dahlan menekankan toleransi dalam fikih ibadah (tanawwu’), ketegasan dalam tauhid (TBC), dan amal saleh yang menjawab kebutuhan umat manusia. Ia menambahkan, pendiri Muhammadiyah tidak menyusun kitab fikih ibadah secara khusus karena lebih mengutamakan nilai substansial.

Takdir juga mengkritik sistem politik Indonesia yang cenderung bergeser ke kapitokrasi, yakni pertarungan modal finansial dalam kemasan demokrasi prosedural. “Untuk memenangkan suara di tingkat RT saja, caleg harus punya modal finansial. Itu bukan demokrasi, tapi kapitokrasi,” tegasnya.

Menurutnya, Muhammadiyah justru memiliki peluang menghadirkan kepemimpinan alternatif yang otentik, berbasis moral dan ide, bukan uang.

Ia menutup dengan penekanan pentingnya tanawwu’ dalam kehidupan sosial Muhammadiyah. “Bagaimana mungkin ingin go internasional, tapi tidak bisa menerima keragaman dengan tetangga? Itu tidak logis,” ujarnya. Takdir menilai, masyarakat akar rumput lebih fleksibel menerima perbedaan dibanding elite yang kerap memaksakan keseragaman. Karena itu, peran tarjih akan semakin berat, tidak sekadar memberi fatwa halal-haram, tetapi juga menyajikan variasi amalan sahih yang bisa diterima secara metodologis.***

Baca Juga  Muhammadiyah dan Tafsir Kemajuan: Antara Ihsan Qurani dan Kritik atas Progres Barat
*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *