MAKLUMAT – Program transmigrasi yang sejak puluhan tahun lalu dijalankan pemerintah, kini menuai ironi. Ribuan desa transmigrasi yang dibangun dengan dana negara justru dinyatakan berada dalam kawasan hutan.
Status ini membuat lahan warga transmigran terancam dan menimbulkan beban baru, karena pemerintah meminta masyarakat maupun kementerian terkait membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk melepaskan status kawasan.
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus menegaskan kondisi tersebut membingungkan. Menurutnya, sejak awal program transmigrasi adalah kebijakan resmi negara, sehingga masyarakat tidak seharusnya dibebani biaya tambahan.
“Pemerintah bikin program dari tahun 70-an, 80-an. Pemerintah yang menempatkan, lokasinya juga mereka yang pilih, dibangun dengan dana APBN. Sekarang muncul status kawasan hutan, lalu masyarakat disuruh bayar lagi. Ini cara menyelesaikan masalah yang tidak cerdas,” tegas Lasarus kepada wartawan, Rabu (17/9).
Data Komisi V DPR mencatat ada 2.966 desa berada di dalam kawasan hutan, dan 15.481 desa di tepi kawasan hutan. Selain itu, terdapat 17.650 bidang tanah transmigrasi yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Proses administrasi menjadi rumit, karena pelepasan kawasan hutan tetap dipersyaratkan dengan biaya tambahan.
Lasarus menilai mekanisme ini tidak adil dan justru memperumit warga. Negara seharusnya hadir dengan kebijakan yang mempermudah, bukan membebani.
Komisi V mendesak pemerintah mengambil kebijakan tegas tanpa membebani masyarakat maupun kementerian. Dengan anggaran yang relatif kecil dibandingkan kementerian lain, Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi dinilai tidak layak menanggung kewajiban finansial tambahan untuk persoalan, yang sejak awal menjadi tanggung jawab negara.