MAKLUMAT — Gereja Majelis Sinode GPIB, Jalan Merdeka Timur menjadi saksi bisu perjanjian bersama untuk pelestarian bumi, Selasa (16/9/2025). Jarum jam baru saja menunjuk pukul 14.45 ketika dua tangan bertemu di atas meja kayu panjang. Hening Parlan, Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, dan Pendeta Paulus Kariso Rumambi, Ketua Umum Majelis Sinode GPIB, menorehkan tanda tangan mereka. Bukan sekadar tinta di atas kertas, tetapi simbol sebuah tekad: iman harus bersuara untuk bumi.
Suasana ruang rapat berubah hangat. Tepuk tangan kecil dari jemaat dan tamu undangan terdengar pelan, seolah menyambut kelahiran komitmen baru. Di tengah bayang-bayang krisis iklim yang semakin nyata, gereja dan komunitas lintas iman memilih untuk tidak tinggal diam.
Tiga Janji untuk Lingkungan
MoU itu sederhana, tapi penuh makna. Isinya hanya tiga poin. Pertama, kedua pihak sepakat melakukan riset bersama di bidang lingkungan hidup, termasuk menerbitkan hasil riset agar bisa dipelajari banyak orang. Kedua, GPIB bertekad memperkuat kapasitas jemaat supaya semakin peduli, sekaligus berani bertindak dalam gerakan ekologi. Ketiga, mereka ingin mempromosikan gereja ramah lingkungan, dari tingkat lokal hingga nasional.
Perjanjian itu berlaku empat tahun. Bisa diperpanjang. Semua biaya akan dikelola transparan, melalui rencana program bersama. “Krisis iklim adalah krisis spiritual. Kita semua, umat beragama, pemerintah, masyarakat sipil, harus keluar dari zona nyaman. MoU ini kecil, tapi bisa membuka pintu perubahan besar,” kata Hening, dengan mata berbinar.
Ia lalu menambahkan satu kalimat yang membuat hadirin mengangguk pelan. “Net zero itu bukan sekadar soal listrik. Ia soal pola pikir. Mengurangi sampah, mengubah kebiasaan, itu sama pentingnya.”
Gereja yang Turun ke Jalan
Bagi GPIB, langkah ini bukan sekadar aktivitas tambahan. Gereja memilih identitasnya: menjadi gereja publik. Bukan hanya tempat ibadah, melainkan ruang yang ikut menanggapi pergulatan masyarakat dan lingkungan.
“Kerusakan lingkungan itu krisis moral. Gereja tak bisa menutup mata. Dengan kerja sama ini, kami ingin menunjukkan bahwa menjaga bumi adalah pelayanan kasih,” ujar Pdt. Manuel E. Raintung, Ketua II Majelis Sinode GPIB Bidang Gereja, Masyarakat, Agama-Agama, dan Lingkungan Hidup (GERMASA-LH).
Sudah sejak lama, bidang GERMASA menjadi pintu sinergi GPIB dengan GreenFaith. Bahkan, dalam waktu dekat, GPIB siap meluncurkan buku lingkungan. Sementara, salah satu pendetanya, Meilani, kini sedang menekuni studi doktoral di bidang ekologi—sebuah bukti bahwa gereja benar-benar menaruh hati pada isu ini.
Tak berhenti di sana. GPIB juga menargetkan net zero emission. Audit energi sudah mereka siapkan. Konsumsi listrik ditekan. Panel surya mulai masuk dalam rencana.
Di sela acara, Luwi Liliefna, Bendahara I Majelis Sinode GPIB, melontarkan ide yang membuat semua mata menoleh. Ia menggagas buku panduan praktis bagi rumah ibadah. “Isinya sederhana. Mulai dari aktivitas rendah emisi, penanaman pohon, sampai cara menghitung emisi yang seimbang,” ucapnya.
Hening tersenyum lebar mendengar itu. Ia teringat pada program serupa yang sudah ia dorong di masjid, sekolah, dan pesantren. “Kalau penyadaran ini dilakukan serentak, perubahan nyata pasti bisa kita wujudkan,” katanya.
Modal Sosial Iman
Pertemuan ini sesungguhnya melanjutkan diskusi di Balikpapan, 24 Agustus lalu. Waktu itu, pimpinan kedua lembaga belum sempat bertemu. Kini, semua lengkap. Komitmen resmi tertulis.
Di balik MoU itu, tersimpan optimisme. Komunitas agama punya modal sosial yang besar: umat yang nyata, setia, dan siap bergerak. Modal itu bisa menjadi kekuatan moral, lebih tangguh dibandingkan kepentingan politik maupun korporasi. Hari itu, di Jakarta, GreenFaith Indonesia dan GPIB memberi pesan sederhana: iman yang hidup harus mengakar pada bumi. Dan menjaga bumi adalah ibadah yang tak kalah suci.***