Perketat Aturan Penggunaan Vape, Pakar UMY Dorong Pemerintah Revisi PP 109/2012

Perketat Aturan Penggunaan Vape, Pakar UMY Dorong Pemerintah Revisi PP 109/2012

MAKLUMAT — Pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Awang Darumurti SIP MSi, menyatakan dukungan terhadap rencana pemerintah untuk memperketat aturan penggunaan rokok elektrik alias vape, bahkan mungkin melarangnya.

Meski begitu, ia menilai bahwa rencana kebijakan tersebut tetap perlu mempertimbangkan berbagai aspek. Mulai dari segi agama, kajian ilmiah, hingga kemanfaatannya bagi masyarakat.

Awang juga mengingatkan bahwa sejak tahun 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok, yang juga berlaku bagi vape, karena sama-sama mengandung nikotin serta zat adiktif lain.

Selain itu, ia menegaskan bahwa banyak jurnal kesehatan masyarakat bereputasi internasional yang juga menegaskan dampak buruk vape, meski riset jangka panjangnya masih berlangsung.

“Kalau merujuk pada fatwa Majelis Tarjih, jelas vape hampir sama dengan rokok karena mengandung nikotin dan bersifat adiktif. Hasil penelitian internasional pun menunjukkan dampak buruknya, khususnya bagi generasi muda. Bahkan, jika dikaitkan dengan visi Indonesia Emas 2045, sulit terwujud bila generasi saat ini justru terjebak dalam budaya adiktif seperti vape,” ujar Awang, dilansir laman resmi UMY, Sabtu (20/9/2025).

Sekadar diketahui, belakangan pemerintah disebut tengah berencana untuk memperketat aturan, bahkan hingga kemungkinan melarang penggunaan rokok elektrik atau vape. Isu tersebut juga semakin mencuat setelah Singapura secara tegas memberlakukan larangan total terhadap vape di negaranya.

Baca Juga  Kemenkes Buka Program Bantuan Pendidikan Dokter Spesialis, Catat Tanggal Pentingnya!

Tantangan Besar Regulasi Vape

Lebih lanjut, kendati mendukung langkah pemerintah, Awang menilai ada sejumlah tantangan besar dalam implementasi kebijakan larangan vape. Salah satunya adalah kelemahan regulasi di tingkat nasional. Saat ini, aturan mengenai pengendalian tembakau masih mengacu pada PP Nomor 109 Tahun 2012, yang belum secara eksplisit mencantumkan vape sebagai produk tembakau yang diatur.

“Tantangan pertama ada di regulasi. PP 109/2012 hanya mengatur rokok konvensional, tidak menyebut vape secara tegas. Jadi, kalau pemerintah ingin serius, revisi PP tersebut mendesak dilakukan dengan memasukkan vape sebagai zat adiktif yang harus diatur,” terangnya.

Selain regulasi, tantangan lain muncul dari sisi ekonomi. Ada pihak yang menilai cukai vape mampu menambah pemasukan negara. Namun, menurut Awang, jika hanya fokus pada keuntungan jangka pendek, risiko jangka panjang justru akan jauh lebih besar.

“Dalam 20–30 tahun ke depan, beban negara menanggung biaya kesehatan akibat vape bisa jauh lebih besar dibandingkan pemasukan dari cukai,” jelasnya.

Tantangan terberat, lanjut Awang, datang dari sisi budaya. Puluhan tahun perdebatan terkait rokok konvensional saja belum tuntas, sehingga munculnya vape dikhawatirkan semakin memperkeruh benturan kepentingan antara kelompok pro-industri dan kelompok pengendalian tembakau.

Ia menandaskan bahwa revisi terhadap PP 109/2012 harus dibarengi dengan penguatan sosialisasi, supaya kebijakan tidak berhenti pada larangan semata, melainkan benar-benar berdampak pada perubahan perilaku masyarakat.

Baca Juga  Cerita WNI Kuliah di Iran: Beralih Daring Akibat Serangan Israel

“Kalau regulasi nasional tidak diperkuat, peredaran ilegal vape bisa semakin marak. Karena itu, pemerintah harus menegaskan aturan distribusi zat adiktif dalam PP tersebut. Sosialisasi juga penting agar masyarakat paham bahwa kebijakan ini dibuat demi kemaslahatan bersama, bukan sekadar kepentingan politik atau industri,” pungkas Awang.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *