Pidato Prabowo di PBB: Diplomasi Realistis atau Sekadar Retorika?

Pidato Prabowo di PBB: Diplomasi Realistis atau Sekadar Retorika?

MAKLUMAT — Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 pada 23 September 2025 menjadi panggung penting bagi Presiden Prabowo Subianto. Di hadapan para pemimpin dunia, ia menyampaikan pidato yang langsung menyentuh isu paling sensitif dan mendesak dalam politik global, Palestina.

Dengan nada tegas dan penuh simbol, Prabowo menyerukan pengakuan segera atas Palestina, sekaligus membuka kemungkinan normalisasi dengan Israel jika syarat fundamental terpenuhi, pengakuan Israel terhadap kemerdekaan Palestina.

Nurkhan.
Nurkhan.

Pidato ini segera menarik perhatian. Tidak hanya karena Prabowo berbicara di forum sebesar PBB setelah sekian lama presiden Indonesia absen, tetapi juga karena substansinya yang berani dan berbeda dari tradisi diplomasi Indonesia sebelumnya. Lantas, apakah ini sebuah langkah realistis atau sekadar retorika indah yang akan terhenti di ruang sidang?

Prabowo memulai pidatonya dengan menggugah nurani dunia. Ia menggambarkan tragedi Gaza sebagai bencana kemanusiaan yang tidak tertahankan: ribuan warga sipil terbunuh, mayoritas perempuan dan anak-anak; kelaparan mengancam; penderitaan berlangsung di depan mata dunia. Pesan ini sebetulnya sederhana namun tajam: Palestina bukan hanya isu politik, melainkan soal moralitas global.

Dengan menegaskan bahwa “kredibilitas PBB dipertaruhkan,” Prabowo menyentil kelemahan lembaga internasional itu. PBB kerap hanya menjadi saksi bisu, sementara veto negara besar melumpuhkan langkah nyata. Di titik ini, pidato Prabowo tidak sekadar retorika belas kasihan, tetapi sebuah tudingan halus bahwa dunia gagal menegakkan keadilan.

Baca Juga  Hashim Tegaskan Komitmen Indonesia Reboisasi 12,7 Juta Hektare Hutan

Prabowo menegaskan kembali komitmen Indonesia pada solusi dua negara (two-state solution). Hanya dengan cara itu, kata dia, perdamaian abadi dapat tercapai. Namun, ia tidak berhenti pada jargon lama. Indonesia, untuk pertama kalinya di forum global, menawarkan formula diplomasi baru: jika Israel mengakui kemerdekaan Palestina, maka Indonesia akan mengakui Israel.

Langkah ini jelas berani sekaligus kontroversial. Sebab, selama puluhan tahun, Indonesia konsisten tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Banyak kalangan di dalam negeri menganggap normalisasi adalah bentuk kompromi yang melukai solidaritas terhadap Palestina. Namun Prabowo memilih mengubah pendekatan. Ia mencoba memosisikan Indonesia sebagai mediator yang bersedia memberi “insentif politik” bagi Israel, asal syarat utama dipenuhi.

Pertanyaannya: apakah Israel mau mengambil jalan itu? Skeptisisme tentu besar. Israel, dengan dukungan Amerika Serikat, masih menolak solusi dua negara secara penuh. Tetapi, dengan menyodorkan opsi ini, Indonesia setidaknya tidak lagi sekadar bersuara dari pinggir lapangan, melainkan mencoba mengajukan peta jalan konkret.

Pidato Prabowo juga sarat sindiran diplomatis. Ia memuji negara-negara seperti Prancis, Kanada, Australia, Inggris, dan Portugal yang sudah mengakui Palestina. Ucapan itu bukan basa-basi, melainkan pesan politik bahwa negara-negara besar yang selama ini mengaku menjunjung hak asasi manusia akhirnya mengambil posisi di “sisi sejarah yang benar.”

Dengan menyoroti pengakuan itu, Indonesia ingin mengirim pesan ke negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan sekutu dekat Israel: sejarah tidak menunggu. Siapa yang terus menunda pengakuan Palestina, pada akhirnya akan dicatat sebagai bagian dari masalah, bukan solusi.

Baca Juga  Ruang Berpikir Pasca Generasi Z

Indonesia di Panggung Global

Yang juga menarik adalah komitmen Indonesia untuk ikut ambil bagian secara langsung, termasuk mengirim pasukan penjaga perdamaian. Bagi sebuah negara berkembang, janji ini bukan sekadar simbolis. Indonesia selama ini memang dikenal aktif dalam misi perdamaian PBB, tetapi kali ini komitmen itu dinyatakan langsung oleh presiden di forum tertinggi dunia.

Pesan ini sejalan dengan ambisi Indonesia membangun citra sebagai pemimpin Global South — negara-negara berkembang yang ingin menyeimbangkan dominasi politik dan ekonomi negara-negara Barat. Dalam konteks itu, pidato Prabowo menjadi instrumen diplomasi identitas: Indonesia ingin dilihat sebagai bangsa besar yang mampu bicara lantang, menawarkan solusi, sekaligus siap memikul tanggung jawab global.

Meski demikian, kita tetap harus realistis. Dunia internasional penuh dengan kepentingan. Pidato Prabowo yang berapi-api mungkin terdengar indah, tetapi tanpa dukungan politik global yang nyata, kata-kata itu bisa berhenti di atas kertas. Israel tidak mudah dipaksa mengakui Palestina, apalagi dengan peta politik Timur Tengah yang masih penuh konflik dan rivalitas.

Namun, justru di sinilah nilai pidato itu. Ia menjadi penanda bahwa Indonesia tidak hanya sekadar pengikut arus. Prabowo menunjukkan keberanian untuk memformulasikan sikap baru, meskipun penuh risiko politik, baik di dalam maupun luar negeri. Apakah langkah ini akan membuahkan hasil nyata atau tidak, waktu yang akan menguji.

Baca Juga  Figur yang Layak, Amanah, dan Jujur, Adalah Pilihan Warga Muhammadiyah

Pidato Prabowo di PBB adalah momentum bersejarah. Ia mengangkat kembali suara Indonesia yang sempat redup di panggung internasional, sekaligus menawarkan perspektif diplomasi baru: keras terhadap ketidakadilan, tetapi terbuka untuk kompromi yang adil.

Bagi Palestina, kata-kata itu adalah harapan. Bagi Israel, itu tantangan. Bagi dunia, itu pengingat bahwa perdamaian bukan sekadar retorika, melainkan tanggung jawab bersama.

Apakah ini realistis atau sekadar retorika? Bisa jadi keduanya. Tetapi setidaknya, Indonesia telah menegaskan: kita tidak akan pernah lelah berdiri di sisi kemanusiaan.

*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *