MAKLUMAT — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Romy Soekarno, menilai bahwa demokrasi Indonesia tak bisa lagi berjalan dengan cara lama. Terlebih di era serba digital seperti saat ini.
Belajar dari pengalaman dalam pelaksanaan Pemilu 2024 lalu, Romy menilai bahwa hal tersebut menjadi cerminan luka, yang di sisi lain juga merupakan peluang untuk melompat ke masa depan demokrasi yang lebih baik, melalui pembangunan mental pemilih dan digitalisasi sistem pemilu.
“Voting ke depan bukan sekadar memberi suara di kertas. Identitas digital warga harus dihormati sebagai KTP hidup bangsa. Itulah fondasi kedaulatan digital dalam demokrasi modern,” kata Romy, saat menjadi narasumber dalam seminar Penguatan Kelembagaan Literasi Demokrasi untuk Wujudkan Pemilu Berintegritas, dikutip dari laman PDI Perjuangan Jatim, Ahad (28/9/2025).
Catatan Hitam Pemilu 2024 dan Optimisme Gen Z
Menurut Romy, setidaknya terdapat empat catatan hitam dalam pelaksanaan Pemilu 2024 lalu. Pertama, maraknya disinformasi politik. Kedua, kecurangan dan intimidasi yang berlangsung secara terstruktur. Ketiga, kegagalan sistem verifikasi yang membuat 34 persen pemilih pemula tak terdaftar. Keempat, ketidakpercayaan generasi muda pada sistem politik.
Namun, ia juga mengaku melihat adanya optimisme, yang tercermin dari partisipasi generasi z (Gen Z). “Sebanyak 81 persen Gen Z justru memverifikasi fakta politik secara mandiri lewat platform digital,” ungkapnya.
Tiga Pilar Demokrasi Digital
Sebagai jawaban, Romy menawarkan peta jalan demokrasi digital berbasis tiga pilar. Pertama, Civic Education Digital 2.0 berupa simulasi virtual kandidat, pelatihan anti politik uang, hingga interaksi video pendek. Kedua, membangun ekosistem anti politik uang melalui blockchain dana kampanye, sistem whistleblower digital, dan dashboard akuntabilitas kandidat. Ketiga, membuat kelas pemilih cerdas lewat kurikulum politik digital di sekolah, bootcamp critical thinking, hingga sertifikasi kompetensi pemilih.
Romy menegaskan bahwa ancaman pemilu modern tak hanya datang dari peretasan digital, melainkan juga dari kebohongan publik. Karena itu, diperlukan perlindungan berlapis: watermark digital dan sensor AI, tim cyber swat untuk respon cepat, serta layanan trauma healing digital bagi pemilih yang terdampak hoaks.
“Jangan biarkan demokrasi ditarik mundur oleh sistem lama. Kita harus melompat ke depan dengan inovasi dan keberanian,” tandas Romy.