Kementerian Haji & Umrah, dan Ujian Politik Bersih di Era Presiden Prabowo

Kementerian Haji & Umrah, dan Ujian Politik Bersih di Era Presiden Prabowo

MAKLUMAT — Ketika Presiden Prabowo Subianto menandatangani pembentukan Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj), publik menaruh dua harapan sekaligus: efisiensi penyelenggaraan haji, dan pembersihan praktik rente yang selama ini membelitnya. Namun, di negeri ini, kementerian baru kerap lahir dengan semangat reformasi, lalu perlahan tenggelam dalam kubangan politik dan birokrasi yang sama.

Langkah Menteri Haji dan Umrah Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan) menyerahkan 200 nama calon pejabat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diapresiasi sebagai sinyal kuat. Tapi publik paham, integritas personal tidak cukup tanpa keberanian politik untuk menata ulang seluruh ekosistem haji dari hulu regulasi hingga hilir pelayanan jamaah.

Pembentukan Kemenhaj bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan kebijakan politik. Ia menjadi indikator seberapa serius pemerintahan Prabowo menegakkan politik bersih di sektor keagamaan, ruang paling sensitif sekaligus paling strategis.

Selama puluhan tahun, urusan haji bukan hanya ritual ibadah, tapi juga arena ekonomi dan politik bernilai triliunan rupiah. Berdasarkan data BPKH (Juni 2025), total dana kelolaan haji mencapai Rp167,2 triliun, menjadikannya salah satu portofolio publik terbesar di Indonesia.

Dengan nilai sebesar itu, risiko penyalahgunaan hampir pasti muncul. Dugaan korupsi kuota haji tambahan 2023–2024 yang ditaksir merugikan negara Rp 1 triliun menjadi pengingat bahwa sistem lama belum sepenuhnya mati. Di balik isu kuota dan logistik, ada politik alokasi yang kerap disusupi kepentingan partai dan patron kekuasaan.

Baca Juga  KPK Usul Bansos Dihentikan Sebelum Pilkada, Menko PMK Nilai Kurang Bijak

Ujian Politik Bersih

Gus Irfan berusaha membangun fondasi moral, tapi tantangan terbesarnya bersifat struktural. Birokrasi yang gemuk, sistem manual, dan kultur patrimonial membuat penyelenggaraan haji rentan terhadap intervensi kepentingan luar.

Tanpa safeguard politik dan hukum yang jelas, reformasi Gus Irfan berisiko menjadi etalase moral,  bersih di permukaan tapi keruh di dalam. Keterlibatan KPK harus lebih dari seremoni, ia harus berperan sebagai mekanisme kontrol permanen.

Pemerintah wajib membuka data kuota, kontrak logistik, dan biaya operasional secara daring, serta melibatkan lembaga independen untuk audit publik tahunan. Transparansi bukan pilihan, melainkan benteng moral negara.

Momentum Prabowo

Presiden Prabowo kini memegang kartu moral paling berharga. Bila Kemenhaj berhasil menjadi model tata kelola bersih dan transparan, maka ini bisa menjadi warisan politik bersih pertama di eranya.

Namun jika tergelincir ke pola lama, seperti jual-beli kuota, proyek birokrasi, dan patronase, maka janji moral reformasi akan runtuh sebelum tahun pertama pemerintahan usai.

Dalam konteks ini Gus Irfan bukan sekadar Menteri tapi penjaga kredibilitas politik bersih Prabowo. Ia berdiri di garis depan antara idealisme dan realitas,  antara cita-cita melayani umat, dan godaan sistem yang sering menelan niat baik pejabat-pejabat muda.

Refleksi: Negara, Amanah, dan Ibadah

Integritas personal penting, tapi sistem adalah tiang moral negara. Negara yang gagal menjaga amanah publik akan kehilangan legitimasi spiritual di mata warganya. Karena itu, menjaga Kemenhaj tetap bersih bukan hanya soal memberantas korupsi, melainkan memastikan politik tidak merampas makna ibadah.

Baca Juga  Khofifah - Emil Usung Visi “Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara”

Dalam sabdanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memperingatkan:

“Barang siapa yang kami angkat menjadi pejabat, lalu ia menyembunyikan sesuatu meskipun sekadar jarum atau benang, maka itu adalah pengkhianatan.” (HR. Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa korupsi bukan semata pelanggaran hukum, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap Tuhan dan umat.

Bahkan lebih jauh beliau juga bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang apabila bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya.” (HR. al-Baihaqi)

Jadi jabatan di Kemenhaj bukanlah kehormatan, melainkan beban pertanggungjawaban spiritual. Pada akhirnya, reformasi birokrasi tak akan berarti tanpa etos kerja yang tulus dan sempurna.

Itulah standar tertinggi yang seharusnya dipegang setiap pejabat haji, bekerja bukan untuk sekadar menjalankan tugas, tapi menyempurnakan amanah umat.

Karena di sinilah makna sejati politik bersih diuji,  bukan di ruang rapat kekuasaan, melainkan di ruang pelayanan jamaah.

*) Penulis: Rista Erfiana Giordano
Divisi Humas Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PWM Jatim, Redaktur Senior maklumat.id , dan Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *