Disiplin Anggaran vs Perut Anak Sekolah: Saatnya Percaya pada Sekolah/Madrasah Sendiri

Disiplin Anggaran vs Perut Anak Sekolah: Saatnya Percaya pada Sekolah/Madrasah Sendiri

MAKLUMAT — Ruang kabinet Presiden Prabowo akhir-akhir ini mulai hangat, bukan karena politik tinggi, tapi karena urusan yang sangat sederhana: makan siang anak sekolah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu ikon pemerintahan kini memunculkan perbedaan pandangan di dalam kabinet.

Penulis: Nurkhan

Luhut Binsar Pandjaitan meminta agar dana MBG tidak dipotong karena serapan anggaran terus membaik. Tapi Kepala LKPP, Purbaya Yudhi Sadewa, punya sikap tegas: “Presiden sudah oke, kalau tak terserap, tetap kita potong.” Seketika publik terbelah. Ada yang mendukung disiplin anggaran, ada yang khawatir program sosial justru tersendat gara-gara angka.

Mari kita lihat dari sisi paling bawah: sekolah dan anak-anak. Bagi mereka, program MBG bukan sekadar proyek negara. Itu adalah harapan sederhana, makan enak, sehat, dan bisa belajar tanpa lapar. Banyak siswa di pelosok datang ke sekolah tanpa sarapan. Mereka menahan perut, menatap papan tulis sambil menunggu jam istirahat. Jadi ketika program ini hadir, rasanya seperti napas baru.

Masalahnya, ketika muncul ancaman pemotongan dana karena alasan serapan rendah, justru yang paling terdampak adalah sekolah-sekolah kecil. Padahal, kadang keterlambatan itu bukan karena malas atau tidak mampu, tapi karena birokrasi yang ribet. Dari laporan digital, pengadaan, hingga verifikasi, semuanya panjang dan lambat.

Kita tidak bisa menafikan pentingnya disiplin fiskal. Negara perlu tertib supaya tidak boros. Uang rakyat harus dijaga agar tidak bocor. Namun, program sosial seperti MBG punya karakter berbeda. Ini bukan proyek infrastruktur yang bisa ditunda. Ini soal gizi, soal masa depan anak-anak Indonesia.

Baca Juga  Fenomena Lawan Kotak Kosong: Kembalinya Wani Piro ke Elite Politik

Maka, ketegasan anggaran harus diimbangi dengan kebijakan yang manusiawi. Jangan sampai angka “serapan rendah” dijadikan alasan untuk memangkas hak anak mendapatkan makanan bergizi. Negara kuat bukan karena hemat, tapi karena cerdas menempatkan prioritas.

Percayakan ke Sekolah dan Wali Murid

Sebagai penulis sekaligus kepala madrasah, saya punya pandangan sederhana, yaitu alangkah baiknya jika program ini dikelola langsung oleh sekolah/madrasah. Dana MBG bisa ditransfer ke sekolah dengan mekanisme pengawasan yang ketat, lalu dikelola oleh kantin sekolah bersama wali murid.

Kenapa ini penting? Karena sekolah tahu kondisi lapangan. Wali murid bisa ikut terlibat langsung. Mulai dari memasak, mengatur menu, dan memastikan makanan sehat sampai ke anak-anak. Selain itu, roda ekonomi kecil di sekitar sekolah juga berputar. Petani lokal bisa memasok sayur, nelayan bisa menjual ikan, dan ibu-ibu bisa membuka jasa masak harian.

Artinya, MBG bukan sekadar program makan gratis, tapi gerakan ekonomi gotong royong.
Anak kenyang, orang tua terlibat, dan masyarakat sekitar ikut bergerak.

Dengan model seperti ini, penyerapan anggaran justru bisa lebih cepat, lebih efisien, dan jauh lebih transparan. Tak perlu menunggu birokrasi panjang di pusat. Pengawasan bisa dilakukan secara terbuka oleh komite sekolah, wali murid, dan masyarakat.

Presiden Prabowo kini menghadapi ujian penting, yaitu menjaga keseimbangan antara ketegasan fiskal dan keberpihakan sosial. Program MBG adalah janji besar kepada rakyat. Kalau dijalankan dengan hati-hati tapi kaku, rakyat hanya akan melihatnya sebagai proyek. Tapi kalau dijalankan dengan semangat kepercayaan dan partisipasi, rakyat akan merasakannya sebagai bentuk kasih negara.

Baca Juga  Quo Vadis Praktik Politik Uang dalam Pemilu di Indonesia

Prabowo punya peluang besar untuk membuat sejarah, menjadikan MBG bukan sekadar “bantuan makan”, tapi model baru pengelolaan sosial berbasis sekolah/madrasah dan masyarakat.

Negara yang hebat bukan yang bisa menekan pengeluaran serapi mungkin, tapi yang tahu kapan harus berbelanja demi kemanusiaan. Disiplin anggaran itu penting tapi kalau karena itu anak-anak kembali ke sekolah dengan perut kosong, rasanya kita kehilangan arah.

Jadi, kalau boleh memilih, lebih baik sedikit longgar, asal manfaatnya nyata. Biarkan sekolah mengelola, biarkan wali murid berperan, dan biarkan anak-anak belajar tanpa rasa lapar. Karena kadang, revolusi besar itu dimulai dari sepiring nasi di tangan anak kecil yang akhirnya bisa tersenyum di ruang kelas.***

*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng Gresik Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *