MAKLUMAT — Demokrasi di Indonesia kini disebut salah satu yang paling mahal di dunia. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan Bachtiar Najamudin menekankan hal itu saat membuka Tanwir XXXIII Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (29/10/2025).
“Saya sudah diskusi dengan bapak presiden. Beberapa kali. Kami punya persepsi yang sama, pandangan yang sama. Bahwa benar, demokrasi kita mahal,” ujarnya di hadapan ribuan kader IMM dari seluruh Indonesia yang hadir dalam acara tersebut.
Ia menjelaskan, tingginya biaya demokrasi terlihat dari kebutuhan finansial bagi siapa pun yang ingin menempati posisi politik, mulai dari anggota DPRPD, DPR, DPD, bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden.
Besarnya biaya tersebut, lanjut Sultan, membuat banyak anak muda sulit bersaing dengan calon yang memiliki modal besar. “Karena luar biasa, luar biasa mahal,” katanya.
Sultan mengajak mahasiswa dan generasi muda untuk memikirkan bersama solusi agar demokrasi lebih inklusif. Ia menekankan pentingnya biaya politik yang efisien, sehingga anak muda tetap bisa berkontribusi pada negeri tanpa terbebani biaya tinggi.
Sultan membandingkan sistem demokrasi Indonesia dengan Amerika, yang menurutnya lebih liberal dan tidak mengenal prinsip “one man one vote”. Ia mengatakan, Indonesia baru menerapkan prinsip itu setelah reformasi. Hal ini salah satu yang menyebabkan biaya politik menjadi lebih tinggi.
“Kita menerapkan itu (one man one vote) pasca reformasi. Saya tidak mengatakan ini totally wrong, tapi harus kita review. Harus kita dudukkan ulang, harus kita tinjau ulang. Ini demokrasi kita yang mahal,” jelasnya.
Menurut Sultan, meskipun aktivis aktif berkuliah, memahami demokrasi, dan rajin berdiskusi, mereka tetap menghadapi kendala besar ketika ingin terjun ke dunia politik. Banyak calon yang tidak berproses, tetapi memiliki modal yang jauh lebih besar, bisa memenangkan posisi politik.
“Itu bisa kalah, mendadak, sama calon yang tidak berproses, tapi punya duit banyak. Ini harus kita pikirkan sama-sama,” ujarnya.
Sultan juga menyoroti ketidakadilan suara dalam sistem demokrasi saat ini. Ia menekankan, suara mahasiswa yang memahami politik seharusnya tidak disamakan dengan suara yang tidak paham dinamika demokrasi.
“Bayangkan, suara adek-adekku semua, suara mahasiswa yang ngerti politik, harus disamakan dengan suara-suara mereka yang tidak mengerti sama sekali perkembangan demokrasi. Ini menurut saya tidak fair,” katanya.
Ia lantas menyerukan ajakan agar semakin banyak anak muda masuk ke dunia politik. Sultan menilai kehadiran generasi muda dapat membawa perspektif baru dan memperbaiki negara.
“Makin banyak anak muda masuk dunia politik, itu makin bagus. Supaya ke depan negara ini bisa kita perbaiki sama-sama dengan generasi yang lebih fresh,” ujarnya.