Saatnya Perguruan Tinggi Indonesia Masuk Peta Global

Saatnya Perguruan Tinggi Indonesia Masuk Peta Global

MAKLUMAT —  Presiden Prabowo Subianto menyambut capaian Universitas Indonesia (UI) yang untuk pertama kalinya menembus peringkat 200 besar dunia dalam QS World University Rankings 2026 sebagai kemajuan penting pendidikan tinggi nasional. Dalam daftar itu, UI menempati posisi 189, mencatat peningkatan pada reputasi akademik, sitasi, dan indikator internasionalisasi. Pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, 20 Oktober 2025, Presiden meminta Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) beserta wakilnya menyiapkan langkah konkret agar UI dapat masuk 100 besar dunia. Ia berharap keberhasilan ini menjadi dorongan bagi kampus lain seperti ITB, UGM, ITS, dan universitas besar lain untuk ikut memperkuat posisi Indonesia dalam peta pendidikan tinggi global.

Dzulfikar Arifuddin, S.T., M.T. (Foto:Dok Pribadi) 

Namun, jika melihat pemeringkatan versi Times Higher Education (THE) World University Rankings 2026, belum ada satu pun universitas Indonesia yang menembus 500 besar. UI masih berada di rentang 801–1000. Kondisi ini menunjukkan kemajuan pada sebagian indikator QS belum diikuti oleh penguatan ekosistem riset yang menjadi fokus utama THE. Kedua sistem peringkat itu menggunakan pendekatan berbeda. QS memberi bobot besar pada reputasi akademik, persepsi pengguna lulusan, dan proporsi staf maupun mahasiswa internasional. THE menilai mutu penelitian, lingkungan riset, serta dampak ilmiah melalui sitasi dan pendanaan. Karena itu, universitas bisa saja melonjak di QS berkat jejaring dan visibilitas, tetapi tetap tertinggal di THE karena produktivitas dan kualitas riset belum cukup kuat.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Tahayul Politik

Secara praktis, QS mencerminkan seberapa dikenal dan dihargainya sebuah universitas di kancah global, sedangkan THE menunjukkan kedalaman dan kekuatan ilmiahnya. Perguruan tinggi yang ingin memperbaiki posisi di QS perlu memperluas jejaring akademik dan memperkuat citra publiknya, sementara untuk THE, langkah utamanya adalah membangun fondasi riset yang berkelanjutan. Indonesia telah memiliki modal awal dalam hal visibilitas akademik, tetapi dampak penelitian dan kolaborasi ilmiahnya masih belum sepadan dengan pengakuan internasional yang mulai tumbuh.

Belajar dari Oxford, Harvard, MIT, NUS, dan NTU

Jika menilik universitas terkemuka dunia, tampak bahwa keberhasilan mereka bersandar pada konsentrasi riset jangka panjang, konektivitas internasional yang luas, serta hubungan erat dengan industri. Massachusetts Institute of Technology (MIT) misalnya, memusatkan penelitian pada bidang-bidang strategis seperti kecerdasan buatan, teknologi energi, dan material baru. Melalui MIT Energy Initiative dan CSAIL, mereka membangun kemitraan berkelanjutan dengan pemerintah dan industri besar seperti Google dan Shell. Hasilnya, lebih dari 600.000 sitasi dihasilkan dalam satu dekade dan banyak perusahaan teknologi lahir dari ekosistem riset itu.

National University of Singapore (NUS) menunjukkan cara lain. Kampus ini membangun jaringan riset global dengan lebih dari 350 universitas di 50 negara. Sekitar 70 persen publikasinya ditulis bersama peneliti dari luar negeri dan memiliki tingkat sitasi di atas rata-rata dunia. Pendekatan kolaboratif semacam ini mendorong NUS menjadi universitas terbaik di Asia Tenggara. Di Inggris, University of Cambridge memperkuat hubungan antara kampus dan industri melalui Cambridge Science Park, yang menampung lebih dari 1.500 perusahaan teknologi. Sekitar 40 persen pendanaan riset Cambridge berasal dari kerja sama dengan sektor swasta dan menghasilkan ratusan paten baru setiap tahun. Sementara itu, Harvard mengelola reputasinya secara sistematis lewat unit komunikasi ilmiah yang mengubah hasil penelitian menjadi narasi publik global. Pendekatan ini menjadikan Harvard konsisten berada di peringkat teratas dunia untuk reputasi akademik.

Baca Juga  Carok Pilkada: Fanatisme Kaum Alit, Pragmatisme Kaum Elit

Keberhasilan universitas-universitas tersebut memperlihatkan bahwa kemajuan riset tidak hanya bergantung pada kemampuan ilmiah, tetapi juga pada tata kelola, strategi komunikasi, dan dukungan jangka panjang dari negara maupun industri. NUS dan NTU, dua universitas unggulan di kawasan, menjadi contoh bagaimana strategi nasional dan konsistensi kebijakan bisa mengangkat reputasi sekaligus produktivitas riset. Pemerintah Singapura tidak hanya memberikan insentif, tetapi juga membuka jalur rekrutmen bagi peneliti global dan mendorong komersialisasi hasil penelitian.

Indonesia dapat belajar dari pengalaman itu. Upaya untuk meningkatkan peringkat global perlu dirancang sebagai program berjangka. Dalam tahap awal, universitas dapat memperluas kerja sama akademik melalui program visiting scholars dan fellowships untuk memperkuat jejaring internasional. Setelah itu, langkah berikutnya adalah membangun pusat riset bersama dengan universitas ternama dunia, melibatkan pendanaan gabungan dan insentif untuk publikasi di jurnal bereputasi tinggi. Pada tahap lebih lanjut, perguruan tinggi perlu membangun hubungan erat dengan dunia industri, memfasilitasi inkubasi rintisan teknologi, serta mengembangkan sistem paten dan lisensi yang produktif.

Dengan perencanaan yang berkesinambungan, Indonesia dapat menargetkan dua hingga lima kampus masuk 300 besar dunia, dan tiga di antaranya menembus 200 besar QS pada tahun 2030. Untuk mencapai hal itu, dukungan negara tetap penting, baik melalui pembentukan satuan tugas nasional percepatan peringkat global maupun pendanaan riset tematik di bidang energi, maritim, kesehatan tropis, dan kecerdasan buatan. Sistem karier dosen juga perlu menempatkan kolaborasi riset internasional sebagai bagian utama penilaian profesional, sementara kampus bersama pemerintah membangun kampanye reputasi akademik di tingkat global.

Baca Juga  Terbakarnya Los Angeles dan Surah Kahfi

Kenaikan UI ke posisi 189 QS 2026 merupakan bukti bahwa strategi internasionalisasi dapat berhasil bila dijalankan konsisten. Langkah selanjutnya adalah memastikan reputasi itu diiringi produktivitas riset dan kolaborasi yang memberi dampak ilmiah dan sosial. Peringkat global bukan sekadar pengakuan simbolik, melainkan ukuran dari mutu pengetahuan, kekuatan riset, dan kontribusi universitas terhadap kemajuan bangsa.

*) Penulis: Dzulfikar Arifuddin, S.T., M.T.
Wakil Sekretaris Jenderal PP IKA ITS 2024–2028; Sekretaris Dewan Pakar IKA ITS PW Jakarta Raya 2023–2027

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *