Aliansi BEM se-Surabaya Tegaskan Semangat Reformasi Belum Usai melalui Peluncuran Buku

Aliansi BEM se-Surabaya Tegaskan Semangat Reformasi Belum Usai melalui Peluncuran Buku

MAKLUMAT — Aliansi BEM se-Surabaya (ABS) menggelar rangkaian kegiatan bertema “Dari Kota Pahlawan: Meneguhkan Persatuan Mahasiswa, Menggelorakan Semangat Sumpah Pemuda” di At-Tauhid Tower Lantai 13 Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat (31/10/2025). Acara ini dihadiri perwakilan BEM dari berbagai daerah di Jawa Timur, mulai dari Sidoarjo, Tulungagung, Lamongan, Sampang, hingga Pasuruan.

Rangkaian kegiatan tersebut mencakup Pengukuhan Kepengurusan, Rapat Kerja, Simposium Sumpah Pemuda, serta peluncuran buku “Reformasi Belum Usai”. Buku ini menjadi salah satu agenda penting karena berangkat dari kegelisahan intelektual mahasiswa terhadap arah reformasi Indonesia pasca-1998.

Koordinator Umum ABS, Nasrawi, menjelaskan bahwa buku tersebut ditulis sebagai refleksi atas dua dekade perjalanan reformasi yang dinilai masih berkutat pada aspek prosedural ketimbang substansial.

“Guillermo O’Donnell menyebut fenomena ini sebagai delegative democracy, di mana rakyat hanya berdaulat di bilik suara, tapi kehilangan kendali setelahnya,” ujarnya.

Nasrawi menilai, buku Reformasi Belum Usai mengajak pembaca menelaah kembali cita-cita keadilan sosial yang menjadi roh reformasi. Namun, menurutnya, cita-cita itu kini tersandera oleh kepentingan oligarki kekuasaan, sebagaimana dikemukakan Jeffrey Winters dalam Oligarchy.

“Buku ini merefleksikan empat cabang kekuasaan negara, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan aparat penegak hukum, melalui pisau analisis teori dan riset terbaru,” jelasnya.

Ia juga menggambarkan bagaimana rasionalitas birokrasi dapat berubah menjadi “sangkar besi”. Melalui buku ini, ABS mengingatkan bahwa kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga mengontrol kesadaran sosial.

Baca Juga  Kemdiktisaintek Serahkan Dana KIP Kuliah dan Adik 2025 untuk Jutaan Mahasiswa se-Indonesia

“Di sinilah reformasi kehilangan arah. Kekuasaan formal tidak lagi berpihak pada nilai, melainkan pada mekanisme yang tanpa nurani,” katanya.

Lebih lanjut, Nasrawi menegaskan bahwa mahasiswa perlu berperan sebagai intelektual organik—bukan sekadar pengamat, tetapi pembentuk kesadaran sosial. Ia menyebut ketimpangan sosial sebagai penyakit sistemik yang menggerogoti tubuh bangsa.

“Mengutip Habermas, rasionalitas sejati lahir dari ruang publik yang bebas dan kritis. Maka tugas kita, sebagai mahasiswa, bukan hanya menjaga warisan reformasi, tapi juga menyehatkan kembali nalar bangsa yang sedang sakit,” ujarnya.​

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *