Gelar Pahlawan Soeharto: PDIP Versus Golkar Saling Kunci Warisan Orde Baru

Gelar Pahlawan Soeharto: PDIP Versus Golkar Saling Kunci Warisan Orde Baru

MAKLUMAT — Nama Presiden ke-2 RI, Jenderal Besar H.M. Soeharto, kembali memanaskan panggung politik nasional. Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk The Smiling General membelah publik menjadi dua kutub ekstrem.

Di satu sisi, ia dielu-elukan sebagai “Bapak Pembangunan” yang meletakkan fondasi kemajuan bangsa. Di sisi lain, namanya lekat dengan noda sejarah “pelanggaran HAM” dan “pembungkaman demokrasi”.

Kini, dua wajah Soeharto itu dipertaruhkan di meja Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Masing-masing kubu, pendukung dan penolak, sama-sama membawa arsip sejarah yang tak terbantahkan.

Wajah Pertama: Sang Bapak Pembangunan

Bagi Partai Golkar, jasa Soeharto adalah harga mati. Partai beringin, yang tak terpisahkan dari sejarah Orde Baru, menjadi garda terdepan yang mendorong pengakuan negara ini. Bagi mereka, Soeharto adalah figur sentral yang menyelamatkan bangsa dari kekacauan politik 1960-an.

“Tanpa Pak Harto, tanpa Orde Baru yang 32 tahun berkuasa, tidak akan Indonesia seperti ini,” tegas politisi senior Golkar, Firman Soebagyo dilansir laman Golkarpedia.

Argumentasi Golkar berpijak pada jejak konkrit. Soeharto dianggap berhasil membubarkan PKI melalui TAP MPRS No. XXV/1966 dan meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Di bidang ekonomi, stabilitas adalah mantranya.

Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1983, membangun pabrik pupuk, mencetak jutaan hektare sawah, dan menjaga stabilitas rupiah. Capaian monumental yang membuatnya dijuluki “The Father of Development”.

Baca Juga  Mahfud Md Sumringah Sambut Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Harapan Baru Keadilan Hukum

Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, bahkan menarik jasa Soeharto jauh sebelum Orde Baru. “Success story Pak Harto dalam memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi bukti kepemimpinan visioner beliau,” ujarnya.

Wajah Kedua: Noda Sejarah dan Luka Lama

Namun, narasi pembangunan itu ditolak mentah-mentah oleh PDI Perjuangan. Di saat Golkar memoles citra pembangunan, PDIP membuka kembali catatan kelam Orde Baru.

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menegaskan sikap partainya sejalan dengan kelompok civil society dan akademisi. Alasan utamanya jelas: pelanggaran hak asasi manusia.

“Kami mendengarkan masukan dari kalangan civil society… banyak yang memberikan catatan terkait pelanggaran hak asasi manusia yang belum ada penyelesaiannya,” ujar Hasto usai berziarah di Makam Bung Karno, Blitar, Sabtu (1/11).

Hasto dikutip dari Kompas, bahkan menyebut gelar pahlawan tak pantas diberikan pada figur yang punya rekam jejak membungkam rakyatnya sendiri.

Penolakan ini bukan sekadar sikap politik. Ada luka sejarah yang lebih dalam. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, secara tersirat menyinggung nasib ayahnya, Presiden Soekarno, di tangan rezim Orde Baru.

“Kalau Bung Karno benar pahlawan. Saya berani bertanggung jawab. Dia diisolasi saja,” sindir Megawati, merujuk pada masa “tahanan rumah” sang Proklamator setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan.

Bola Panas di Meja Dewan Gelar

Perdebatan sengit ini diakui Sekjen Golkar M. Sarmuji sebagai sebuah keniscayaan. “Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar,” katanya.

Baca Juga  Respon Santai Puteri Komarudin Tanggapi Isu Gantikan Dito Ariotedjo Jadi Menpora

Kini, bola panas itu ada di tangan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang memimpin Dewan GTK. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) telah resmi menyerahkan 40 nama usulan, termasuk Soeharto.

Menariknya, dalam daftar itu, nama Soeharto bersanding dengan nama-nama yang menjadi antitesisnya: Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah, yang kematiannya kerap dikaitkan dengan represi aparat era Orde Baru.

Publik pun menunggu. Penganugerahan gelar ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah pertaruhan besar tentang bagaimana Indonesia memilih untuk membaca—dan menerima—salah satu babak sejarahnya yang paling gemilang sekaligus paling kelam.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *