MAKLUMAT – Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengirimkan surat terbuka lugas kepada Ketua MPR RI Ahmad Muzani. Surat bertanggal 4 November 2024 itu berisi satu tuntutan utama. Mereka mendesak MPR menolak mentah-mentah wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Wacana ini pertama kali bergulir dari mulut Ketua MPR periode 2019-2024, Bambang Soesatyo, pada 28 September 2024. Saat itu, Bamsoet meminta pemerintah mendatang mempertimbangkan pemberian gelar tersebut untuk Presiden ke-2 RI itu.
Koalisi GEMAS, yang mendapat dukungan 93 organisasi dan 77 individu [PDF], segera bereaksi. Mereka membeberkan alasan penolakan tegas itu. Alasan utamanya: rekam jejak Soeharto yang mereka nilai buruk dan berdarah. GEMAS menganggap Soeharto tidak layak menyandang gelar terhormat itu.
Mereka menyitir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK). Dalam Pasal 2, UU itu mensyaratkan pemberian gelar harus berdasarkan asas kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan.
GEMAS menegaskan, rekam jejak Soeharto justru bertolak belakang. Ia sama sekali tidak memenuhi tiga kriteria krusial tersebut. Selama 32 tahun memimpin, GEMAS menuding Soeharto melakukan kekerasan terhadap warga sipil, menyalahgunakan wewenang, dan mempraktikkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Di bawah kepemimpinan Soeharto, Negara bertransformasi menjadi mesin pembunuh,” tulis koalisi dalam surat tersebut. Negara, saat itu, melakukan pembasmian, merampas sumber daya alam, menghancurkan lingkungan, hingga mengelola kekerasan antarwarga.
Daftar Panjang Dosa Orde Baru
Surat terbuka itu kemudian merinci satu per satu “dosa” Soeharto selama berkuasa. GEMAS merujuk data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga negara itu telah menetapkan 9 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto.
Daftar itu mencakup Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, dan Peristiwa Tanjung Priok 1984.
Daftar kelam berlanjut dengan Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh (1989-1998), serta Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998.
Belum lagi tragedi yang mengiringi reformasi. Mulai dari Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), Semanggi II (1999), Peristiwa Mei 1998, hingga Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Tak berhenti di situ. GEMAS juga mengurai daftar panjang pelanggaran HAM lainnya. Rezim Soeharto memberlakukan kebijakan operasi militer dan militerisasi di Papua (1968-1998), yang disertai eksploitasi sumber daya alam.
Di kampus, rezim memberangus suara kritis mahasiswa lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Rezim juga merampas tanah rakyat dalam kasus Kedung Ombo (1985-1989), memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998), membunuh aktivis buruh Marsinah (1993), hingga menyerang kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996.
Korupsi dan Pengakuan Negara
GEMAS juga menguliti praktik KKN yang mengakar. Koalisi mengingatkan publik pada September 1998. Saat itu, Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan dana di tujuh yayasan pimpinan Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar.
Kejaksaan mengindikasi yayasan-yayasan ini menampung aliran dana negara. Meski proses hukum pidana Soeharto berhenti karena sakit, proses perdatanya jalan terus.
Mahkamah Agung (MA) akhirnya menghukum Yayasan Supersemar. MA menyatakan yayasan itu melakukan perbuatan melawan hukum dan mewajibkan pengembalian uang sebesar US$ 315 juta dan Rp 139,4 miliar kepada negara.
Laporan Stolen Asset Recovery (StAR) dari PBB dan Bank Dunia pada 2007 bahkan menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia abad ke-20. Laporan itu memperkirakan Soeharto mengorupsi aset senilai 15-35 miliar Dolar AS.
Koalisi sipil ini juga mengingatkan bahwa Negara, pasca-Reformasi, telah mengakui rekam jejak buruk Orde Baru. Negara menuangkan pengakuan itu dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. MPR saat itu mengakui secara eksplisit adanya krisis hukum di rezim Soeharto.
Lebih tajam lagi, TAP MPR No. XI/MPR/1998 memerintahkan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN. Pasal 4 TAP MPR itu bahkan menyebut nama Soeharto dan kroninya secara gamblang untuk diadili.
“Soeharto pada pokoknya tidak memiliki integritas moral dan keteladanan,” tegas GEMAS dalam surat itu.
Mereka mendesak Ketua MPR Ahmad Muzani agar serius memperhatikan dan menimbang semua fakta kelam ini. MPR harus mengawasi agar Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tidak meloloskan nama Soeharto.
Bagi GEMAS, memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja mencederai semangat Reformasi, anti-KKN, dan penegakan HAM di Indonesia.***
Comments