MAKLUMAT – Menerbitkan larangan impor barang bekas atau thrifting menjadi sorotan pengamat ekonomi. Setidaknya dampak yang muncul tidak kecil, namun juga bukan berarti memberi kebebasan menerima barang bekas.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), M.S. Wahyudi, S.E., M.E., Ph.D., menilai larangan thrifting tanpa solusi sama saja mematikan ekonomi rakyat kecil.
Ia mengirim pesan seolah sebuah refleksi tajam di tengah polemik kebijakan pelarangan total impor pakaian bekas yang belakangan kembali mencuat.
Setelah disuarakan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, isu ini menjadi perbincangan nasional, antara ambisi melindungi industri tekstil dalam negeri dan kekhawatiran terhadap nasib ribuan pedagang thrifting.
Pentingnya Peta Jalan Jangka Panjang
Menurut Yudi, sapaan akrabnya, semangat pemerintah untuk menegakkan kemandirian industri patut diapresiasi. Namun, pendekatan yang serba cepat tanpa peta jalan yang jelas justru menjadi bumerang.
“Fokus utama seharusnya bukan mengurangi defisit perdagangan, tetapi bagaimana meningkatkan daya saing industri tekstil dalam negeri,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa sektor tekstil adalah salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Jika kebijakan dilakukan tanpa strategi matang, potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menggelinding. “Dampak lesunya industri tekstil berpotensi menimbulkan efek domino di sektor lain,” tambahnya.
Namun, Yudi juga melihat bahwa thrifting bukan semata persoalan ekonomi gelap atau pelanggaran impor. Bagi banyak konsumen, pilihan membeli pakaian bekas justru lahir dari kesadaran atas harga yang terjangkau, kualitas yang baik, dan bahkan tren fesyen yang lebih menarik.
“Konsumen tidak sekadar membeli murah. Mereka mencari nilai, baik dari sisi kualitas maupun gaya hidup,” ujarnya.
Dengan demikian, larangan total terhadap thrifting tanpa penguatan industri domestik akan timpang. Di saat yang sama, produk baru murah dari luar negeri, terutama dari China, terus membanjiri pasar. “Artinya, masalahnya terlalu kompleks jika hanya menyalahkan thrifting,” tegas Yudi.
Sodorkan Jalan Tengah
Dekan FEB UMM itu menawarkan tiga langkah alternatif agar kebijakan tetap berpihak pada ekonomi rakyat tanpa mengorbankan industri nasional. Pertama, memperkuat industri domestik dengan dukungan fiskal seperti pemotongan pajak dan subsidi inovasi. “Kita harus mengobati akar masalah, yaitu rendahnya daya saing UMKM tekstil lokal,” kata Yudi.
Kedua, memberi pembinaan bagi pelaku usaha thrifting. Mereka, menurutnya, bisa menjadi bagian dari ekosistem baru seperti industri daur ulang tekstil atau upcycling yang kini tengah berkembang secara global.
Ketiga, menerapkan standarisasi impor bertahap dengan menolak hanya barang bekas yang tidak layak pakai atau berbahaya bagi kesehatan.
Yudi menegaskan, persoalan thrifting bukan soal pakaian bekas, tapi juga sustainability dan pilihan hidup generasi muda. “Sebagian anak muda melihat thrifting sebagai gaya hidup berkelanjutan, bukan sekadar hemat,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu membangun narasi baru—bukan sekadar pelarangan, tapi kampanye kebanggaan terhadap produk lokal dan infrastruktur industri yang mumpuni. “Kalau pemerintah ingin melarang, harus ada alternatif yang layak. Jangan sampai masyarakat merasa kehilangan pilihan,” ia memungkasi.