Hubungan Industrial di Era AI: Antara Efisiensi Teknologi dan Produktivitas Manusia

Hubungan Industrial di Era AI: Antara Efisiensi Teknologi dan Produktivitas Manusia

MAKLUMAT – Era kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjadi tantangan besar bagi sejumlah industri. Kali ini sejumlah industri, di banyak negara, mulai memangkas sebagian tenaga kerja dan beralih ke teknologi.

Di mata pemerintah, persoalan ini telah memicu hubungan industrial yang transformatif. Sebaliknya, bagi sebagian pengusaha, transformasi ini bisa memicu hubungan industrial yang tidak kecil dan bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja. Di satu sisi, teknologi kecerdasan buatan dan tenaga kerja manusia bisa berdampingan.

Tema besar inilah yang menjadi sorotan utama dalam Industrial Relation Conference ke-11 yang digelar Apindo Training Center (ATC) di Surabaya, 4-6 November 2025. Forum tahunan itu kembali mempertemukan pengusaha, akademisi, dan pemerintah dalam satu meja, membicarakan arah baru hubungan industrial di tengah disrupsi teknologi.

AI dan Realitas Dunia Kerja Baru

“Dunia sudah berubah,” kata Shinta Kamdani, Ketua Umum DPN Apindo, dalam doorstop, Selasa (4/11/2025). “Otomasi dan digitalisasi telah mengubah jenis pekerjaan, dan perusahaan harus beradaptasi, terutama dalam hal keterampilan tenaga kerja,” jelasnya menambahkan.

Shinta menegaskan, literasi digital telah menjadi kebutuhan dasar. Namun, digitalisasi juga menimbulkan paradoks baru, yakni lapangan kerja berkurang di satu sisi, tapi keterampilan baru justru belum banyak tersedia di sisi lain.

“Kita harus menyiapkan upskilling agar tenaga kerja tidak tertinggal. Tapi lebih dari itu, kita juga harus menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, termasuk di sektor informal yang selama ini menopang industri padat karya,” ujarnya.

Baca Juga  Sebut Indonesia Butuh 9 Juta Talenta Digital, Menkomdigi Dorong Mahasiswa Ikut AI Talent Factory

Bagi Shinta, hubungan industrial yang sehat tidak bisa diukur dari efisiensi produksi. Parameternya adalah dari keseimbangan antara teknologi dan manusia. Karena itu, ia menegaskan tiga fokus utama dalam semangat Indonesia Incorporated, mencegah PHK, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga daya saing industri.

Pemerintah dan Paradigma Human-Centered AI

Dari sisi pemerintah, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyampaikan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap dampak AI di dunia ketenagakerjaan.

“AI bisa mendominasi berbagai sektor, termasuk hubungan industrial antara pemberi kerja dan pekerja,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Indonesia bersama negara-negara ASEAN telah menyepakati Digital Economic Framework Agreement (DEFA) sebagai panduan untuk mengatur penggunaan AI dalam ekonomi digital.

Selain itu, di forum APEC, Presiden Prabowo Subianto juga memperkenalkan konsep Human-Centered AI—yakni pendekatan yang menempatkan kesejahteraan manusia sebagai inti dari pemanfaatan teknologi.

“AI bukan hanya soal alat atau efisiensi, tapi soal nilai, etika, dan kesejahteraan,” terang Susiwijono menambahkan.

Produktivitas Menjadi Taruhannya

Namun di lapangan, perubahan ini tidak selalu berjalan mulus. Eddy Widjanarko, Ketua DPP Apindo Jawa Timur, menuturkan bahwa banyak perusahaan kini mulai mengurangi jumlah tenaga kerja sambil beralih ke sistem otomatis. “AI sudah menjadi masa depan industri. Kita harus bisa menyesuaikan diri agar tidak tertinggal,” ucapnya.

Di sisi lain, tantangan terbesar justru muncul dari kualitas sumber daya manusia. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan bahwa 86 persen tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan SD hingga SMA. Kondisi itu membuat program peningkatan produktivitas menjadi pekerjaan besar yang tak bisa diselesaikan dalam jangka pendek.

Baca Juga  Rakerkonas Digelar Tuntas, Apindo Tak Mau Sekadar Kertas

“Kita tidak bicara program kecil. Kita bicara dampak besar. Produktivitas bangsa harus naik melalui peningkatan kapasitas pekerja,” tegasnya melalui daring.

Hubungan Industrial di Persimpangan

Konferensi Apindo ini bukan sekadar ajang seremonial. Ajang ini menjadi refleksi bahwa hubungan industrial berada di persimpangan, antara efisiensi mesin dan keberlangsungan manusia.

AI memang mampu mempercepat proses, menekan biaya, bahkan mengefisienkan rantai produksi. Namun tanpa peningkatan keterampilan manusia, produktivitas bisa stagnan, bahkan bisa turun.

Apindo, bersama pemerintah, mencoba menegaskan arah, teknologi bukan menggantikan manusia, tetapi memperkuat perannya. Dalam konteks itu, hubungan industrial di masa depan bukan lagi sekadar soal kontrak kerja dan upah, melainkan soal keseimbangan antara algoritma dan nurani, antara inovasi dan keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *