Zohran Ingin Kantong Warga Tebal, Purbaya Ajak Kaya Bersama

Zohran Ingin Kantong Warga Tebal, Purbaya Ajak Kaya Bersama

MAKLUMAT — Ada sesuatu yang menarik dari dua sosok, sekilas  tak punya irisan apa pun: Zohran Mamdani dan Purbaya Yudhi Sadewa. Zohran, 34 tahun, adalah politikus Muslim yang  baru saja memenangkan Pemilihan Wali Kota New York, Selasa, 4 November 2025 waktu setempat.

Purbaya Yudhi Sadewa, 61 tahun, adalah Ekonom dan Insinyur Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia sejak 8 September 2025.

Zohran lahir di Uganda, tumbuh di Queens, dan dikenal sebagai politisi sosialis muda yang keras kepala memperjuangkan kelas pekerja. Satunya lagi, ekonom senior lahir di Kota Bogor pada 7 Juli 1964, yang tiba-tiba viral karena kalimat sederhana: “Mari kita kaya bersama.”

Sekilas, keduanya seperti dua kutub yang berjauhan — New York dan Jakarta, kapitalisme dan gotong royong, kiri progresif dan teknokrat birokratis. Tapi kalau kita kuliti gagasan mereka, keduanya sedang bicara tentang hal yang sama: membalik arah arus ekonomi agar kembali ke rakyat biasa.

Mamdani, 34 tahun, tampil dengan kampanye ingin membuat kantong warga New York lebih terisi uang alias tebal. Mamdani membuat program-program yang bagi banyak warga New York terasa seperti mimpi: bus gratis, penitipan anak gratis, pembebasan biaya sewa, sampai toko kelontong pemerintah yang menjual kebutuhan pokok dengan harga murah.

Ia menyebutnya bukan “bantuan,” tapi hak hidup layak yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. “Cara terbaik menolong rakyat adalah dengan mengurangi pengeluaran mereka,” kata Mamdani lugas dalam wawancara dengan The Nation. Laporan hasil wawancara Sumaya Awad dengan Mamdani ini naik pada 18 Februari 2025

Baca Juga  Kepemimpinan Spiritual Berbasis Nilai Islam dalam Transformasi Pemerintahan Daerah

9 bulan kemudian,  Purbaya juga sedang bermain di arena yang sama — tapi dengan bahasa yang lebih ramah di telinga publik: “Kaya bersama.” Sebuah ajakan yang sederhana, tapi menyimpan ide besar: kemakmuran tidak boleh hanya menjadi milik segelintir orang. Negara tidak boleh puas dengan ekonomi yang tumbuh, kalau yang menikmati hasilnya cuma kelompok atas.

Bayangkan kalau dua kalimat itu disatukan: “Kurangi beban hidup rakyat, dan pastikan mereka kaya bersama.” Itu bukan sekadar visi ekonomi — itu manifestasi dari politik yang berpihak.

Mamdani dan Purbaya sama-sama sedang menantang cara lama dalam melihat kemajuan. Di banyak negara, ukuran sukses ekonomi masih soal angka pertumbuhan. Berapa persen naiknya PDB, berapa besar investasi asing yang masuk, berapa banyak mal baru dibangun. Tapi jarang yang bertanya: siapa yang menikmati pertumbuhan itu?

Purbaya mengibaratkan ekonomi seperti kue bolu kekayaan. Selama ini, kita sibuk membuat kuenya makin besar, tapi potongan besarnya selalu jatuh ke tangan yang sama. Yang lain, cuma kebagian remah.

Mamdani ingin mengubah itu dengan kebijakan langsung di dapur rakyat. Ia ingin bus gratis agar gaji pekerja tak habis untuk ongkos. Ia ingin toko pemerintah supaya harga beras dan susu tidak dikendalikan korporasi raksasa. Ia ingin kota bekerja bukan untuk pemodal, tapi untuk mereka yang bangun paling pagi dan pulang paling malam.

Baca Juga  Sri Mulyani vs Purbaya: Pertarungan Narasi di Panggung Media dan Pasar

Purbaya, di sisi lain, memainkannya di level makro: mendorong UMKM, menekan ketimpangan, memastikan “kelompok 40 bawah —40 persen rakyat dengan penghasilan terendah– ” tumbuh lebih cepat dari rata-rata. Dua pendekatan, satu semangat — ekonomi sebagai alat pemerataan, bukan sekadar mesin pertumbuhan.

Politik Kesejahteraan

Apa yang mereka lakukan adalah bentuk politik yang konkret. Tidak berputar di langit ide, tapi menyentuh hal paling nyata: isi dompet rakyat. Mamdani tidak bicara soal “inovasi kota pintar” atau “ekosistem digitalisasi” — istilah-istilah yang sering jadi kabut bagi publik. Ia bicara tentang sewa rumah, ongkos bus, dan harga bahan pokok. Dan itu, bagi warga kelas pekerja New York, terasa lebih revolusioner daripada seribu pidato di Times Square.

Begitu pula Purbaya. Ia sadar bahwa publik hari ini lelah dengan jargon. Di tengah keputusasaan akibat harga naik, PHK, dan kesenjangan yang menjerit, kalimat “mari kita kaya bersama” terdengar seperti undangan harapan. Bukan karena rakyat percaya pemerintah bisa menyulap keadaan seketika, tapi karena setidaknya ada pejabat yang berani bicara dengan nada manusiawi.

Keduanya sedang menunjukkan bahwa politik bisa lembut tanpa kehilangan taji. Bahwa optimisme bisa menjadi ideologi baru di tengah sinisme publik.

Eksekusi

Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah slogan-slogan itu akan berakhir di panggung retorika, atau benar-benar turun ke jalan, ke dapur, ke dompet rakyat? “Kaya bersama” hanya mungkin kalau ada redistribusi nyata — bukan sekadar bansos kosmetik. “Bus gratis” hanya mungkin kalau kota rela menata ulang prioritas anggaran dan melawan dominasi korporasi transportasi.

Baca Juga  Luhut dan Purbaya: Dua Kutub Arah Ekonomi Nasional

Di sinilah nyali diuji. Politik pro-rakyat selalu berbenturan dengan kekuasaan lama: pemilik modal, birokrasi lamban, dan elite politik yang nyaman dengan status quo. Mamdani tahu ia akan menghadapi itu. Purbaya juga tahu, di negeri ini, setiap upaya memotong privilese sering dilabeli “populis.”

Purbaya dan Mamdani ingin politik yang sederhana tapi nyata: ongkos hidup ringan, kerja layak, dan masa depan yang bisa dipegang. Mamdani membawa semangat itu dari Queens. Purbaya mencoba menanamkannya dari Jakarta. Dua jalur berbeda, satu arah yang sama: memulihkan kembali makna kemakmuran.

Kini, tantangan terbesar Mamdani dan Purbaya adalah memastikan “biaya hidup ringan” dan “kaya bersama” tidak menjadi slogan. Ia harus menjelama di setiap meja makan dan di setiap kantong para pekerja. Semoga, karena di situlah politik menemukan makna sejatinya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *