MAKLUMAT — Pengamat Politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Dr Zuly Qodir MAg, menegaskan bahwa Muhammadiyah tetap teguh sebagai gerakan dakwah dan tidak terlibat langsung dalam politik praktis.
Konsistensi tersebut dinilai penting untuk menjaga peran Muhammadiyah sebagai kekuatan civil society yang menghadirkan nilai-nilai Islam moderat, humanis, dan berkemajuan di tengah dinamika sosial-politik nasional.
Menurut Zuly, meskipun memiliki pengaruh besar secara struktural dan kultural, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, Muhammadiyah tetap memilih untuk tidak terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan politik.
“Muhammadiyah tetap teguh sebagai gerakan dakwah. Kadernya boleh berkiprah di ranah politik selama sejalan dengan visi dakwah dan konstitusi,” ujarnya, dilansir laman resmi UMY pada Rabu (5/11/2025).
Dalam paparannya, Zuly menguraikan bahwa Muhammadiyah memiliki pengaruh luas di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan keagamaan, baik di tingkat nasional maupun global. Tercatat, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 itu hingga kini mengelola 19.915 sekolah, 176 universitas, 457 rumah sakit dan klinik, serta ribuan lembaga sosial di berbagai wilayah Indonesia, dengan total aset mencapai lebih dari 21 juta meter persegi.
Meski demikian, ia juga menyorot soal hasil survei Denny JA tahun 2023 lalu, yang menyebut bahwa hanya 5,9 persen umat Islam Indonesia yang mengaku terafiliasi langsung dengan Muhammadiyah, dari total sekitar 25 juta anggota aktif.
Relasi Muhammadiyah dengan Politik Praktis
Zuly menjelaskan bahwa netralitas politik Muhammadiyah bukanlah hal baru, melainkan hasil reformasi internal yang telah berlangsung sejak kepemimpinan Ketua Umum Haedar Nashir. Namun, hubungan Muhammadiyah dengan dunia politik tetap bersifat dinamis, tergantung pada konteks kepemimpinan dan situasi nasional.
“Relasi Muhammadiyah dengan politik selalu berubah mengikuti kepemimpinan dan keadaan. Namun garis besarnya tetap: organisasi tidak boleh dijadikan instrumen politik praktis,” tegasnya.
Dalam sejarahnya, kedekatan Muhammadiyah dengan kekuatan politik memang pernah terjadi. Pada masa Din Syamsuddin hubungan terjalin dengan Partai Golkar, sementara di era Amien Rais lahir Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai wadah ekspresi politik kader Muhammadiyah. Kemudian pada masa Ahmad Syafii Maarif, Muhammadiyah lebih menonjol di ranah kultural dan intelektual melalui gerakan seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Maarif Institute.
Menjelang Pemilu 2024 lalu, Zuly mencatat adanya keberagaman dukungan politik di kalangan warga Persyarikatan. Sebagian anggota cenderung mendukung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, karena latar belakang Anies sebagai figur muslim modernis dan aktivis kampus Islam.
Meski begitu, kandidat Capres-Cawapres lain seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo juga memiliki kedekatan personal dan historis dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah.
“Masing-masing calon punya hubungan emosional dengan Muhammadiyah. Jadi sulit menentukan kecenderungan tunggal. Justru keragaman pilihan ini menandakan demokrasi di Muhammadiyah semakin dewasa,” jelas pria yang juga menjabat Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UMY itu.
Pasca pemilu, ia menilai bahwa Muhammadiyah akan tetap menjalankan fungsinya sebagai organisasi dakwah dan moral force yang mengawal kebijakan pemerintah secara kritis, konstitusional, dan konstruktif.
“Netralitas politik Muhammadiyah bukan berarti pasif atau apatis. Kami tetap bersikap kritis dan rasional terhadap kebijakan negara, selama itu menyangkut keadilan dan kepentingan umat,” pungkas Zuly Qodir.