Redefinisi dan Reaktualisasi Politik Kebangsaan serta Peran Politik Kader Muhammadiyah

Redefinisi dan Reaktualisasi Politik Kebangsaan serta Peran Politik Kader Muhammadiyah

MAKLUMAT — Tulisan ini bertujuan untuk mendorong sebuah pemikiran ulang, yakni redefinisi dan reaktualisasi politik kebangsaan Muhammadiyah serta bagaimana mengoptimalkan peran kader-kader Muhammadiyah di dalam dinamika politik kebangsaan terkini di Indonesia.

Bambang Wahyu Nugroho
Bambang Wahyu Nugroho

Dimulai dari refleksi terhadap citra Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, pendidikan, dan amal sosial berbasis Islam yang tampak semakin maju dan kuat, dilanjutkan dengan persepsi terhadap kondisi Islam politik di Indonesia yang pengaruhnya melemah, kemudian juga pemahaman terhadap arah baru pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto serta prospeknya. Tulisan ini diakhiri dengan sebuah rekomendasi bagi pimpinan Muhammadiyah di aemua lini dalam melakukan pembinaan dan pengarahan (serta pengerahan) sumber daya Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) pada posisi dan fungsi politik dalam arti sempit (politik praktis) maupun luas (politik kebangsaan/kenegaraan).

Muhammadiyah saat ini dicitrakan sebagai gerakan dakwah Islam yang sangat kuat, setidaknya diukur dari “aset” yang dikuasainya. Citra ini tidak hanya melekat di kalangan Muhammadiyah sendiri, namun juga di dalam pandangan orang di luar Muhammadiyah, termasuk masyarakat dunia.

Di bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, dan layanan sosial, kiprah Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Kualitas sumber daya manusia (SDM) para pegiat persyarikatan dan amal usaha Muhammadiyah juga semakin banyak dan semakin unggul. Namun demikian, masih banyak pula amal usaha Muhammadiyah yang belum terkelola dengan baik, di bidang-bidang tersebut di atas. Salah satu bidang yang belum benar-benar dikelola secara serius oleh Muhammadiyah, yakni bidang politik kebangsaan (politik dalam arti luas) maupun politik praktis (dalam arti sempit).

Baca Juga  Prof Zainuddin Maliki Soroti Data Rekrutmen PPPK Guru

Sejarah perpolitikan Indonesia menunjukkan bahwa Muhammadiyah pernah secara aktif terlibat di dalam politik praktis sebagai anggota istimewa Masyumi di era Soekarno. Pasca era Soekarno, Muhammadiyah menjadi nonpolitik praktis dan mayoritas kader-kadernya mendukung partai-partai Islam, terutama Parmusi yang kemudian berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Di era reformasi, kader-kader Muhammadiyah menyebar ke berbagai parpol, seperti PAN, PK (yang kemudian menjadi PKS), PPP, PBB, dan juga ke partai-partai politik lainnya. Ini menunjukkan bahwa kader-kader Muhammadiyah telah berdiaspora secara politik dan Muhammadiyah sejauh itu tetap bersikap netral.

Namun demikian, perkembangan politik di Indonesia menunjukkan bahwa setelah lebih dari 25 tahun era reformasi, posisi, peran, dan pengaruh partai-partai politik berbasis Islam semakin lemah. PAN, PKS, PPP, PBB, mengalami konflik internal yang menguras energi, bahkan terbaru Partai Ummat bisa dikatakan “layu sebelum berkembang”. Hal ini tentu saja harus menjadi refleksi bagi kader-kader Muhammadiyah yang selama ini mencoba berkhidmat di sana.

Untuk itu, para pimpinan Muhammadiyah perlu segera meredefinisi dan mereaktualisasi agar dapat merumuskan strategi yang sesuai dalam rangka membina dan mengarahkan SDM Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dalam berkiprah di ranah politik nasional/daerah.

Sejumlah pimpinan, tokoh, dan kader berbasis Muhammadiyah telah dipercaya oleh kekuasaan Presiden Prabowo Subianto untuk menduduki jabatan-jabatn kenegaraan yang penting. Bersama dengan eksponen bangsa lainnya mereka bergabung di dalam Kabinet Merah Putih. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Menteri Kehutanan (Menhut), dll, adalah kader Muhammadiyah. Hal ini menggembirakan, namun tidak boleh membuat terlena karena elitisasi tersebut belum tentu memberikan dampak yang menguntungkan bagi persyarikatan. Salah satunya, karena di lini tengah dan bawah, kader-kader Muhammadiyah belum ditata, dikondisikan, dan didorong untuk mengisi ruang-ruang politik dan kebijakan.

Baca Juga  Mendaruratkan dan Menormalkan: Politik Menggaruk Bagian Tubuh yang Tidak Gatal

Generasi penerus Muhammadiyah sudah bergeser. Sudah tidak ada yang boomers. Para generasi x yang mengalami orde baru dan reformasi juga sudah menua. Saat ini generasi milenial telah dewasa dan generasi z beranjak remaja. Bisa dibilang, anak milenial dan generasi z sudah kesulitan memahami debat ideologis jaman baheula orla-orba. Mereka lebih kuatir dengan keadilan sosial, kerentanan mental, dan perubahan iklim. Implikasinya, mereka akan jauh lebih kosmopolit ketimbang kerangkeng ideologi yang sempit. Jika berpartai pun mereka akan lebih fungsional ketimbang jadi pengikut buta.

Jadi, fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa lanskap konstituen sudah berubah drastis, baik karakter, sikap, maupun perilakunya. Tidak bisa lagi kita menuangkan anggur baru ke dalam kantong lama kalau tak ingin kantongnya hancur dan anggurnya tumpah. Redefinisi dan reaktualisasi perkaderan politik di Muhammadiyah telah menjadi keniscayaan.

Pada akhirnya, para pimpinan Muhammadiyah (dan Ortom) di semua lini harus segera mulai mempersiapkan kader-kader politik. Muhammadiyah harus memfasilitasi dan mendukung kader-kader untuk berdiaspora dan berperan di semakin banyak posisi serta fungsi “amal usaha” politik kebangsaan dan kenegaraan secara lebih adil dan afirmatif. Perkaderan dan alokasi SDM di bidang politik yang dilakukan secara kontekstual dan sistematis, pada gilirannya insya Allah akan sangat mendukung tercapainya tujuan Muhammadiyah.

Wallahu a’lam bishawab

Yogyakarta, 5 November 2025

*) Penulis: Bambang Wahyu Nugroho
Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *