Kenapa Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Banjir Sumatera sebagai Bencana Nasional? Begini Kata Pakar

Kenapa Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Banjir Sumatera sebagai Bencana Nasional? Begini Kata Pakar

MAKLUMAT — Pakar hukum tata negara dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH, menyampaikan pandangannya soal alasan pemerintah yang tak kunjung menetapkan banjir bandang masif yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, sebagai bencana nasional.

Seperti diketahui, Wilayah Aceh dan beberapa provinsi di Pulau Sumatera diguyur hujan ekstrem terus-menerus sejak 23 hingga 25 November 2025. Tanggal 23 hujan mengguyur sebagian wilayah Sumatera Barat. Keesokan harinya, hujan yang tak kalah hebat melanda sebagian wilayah tersebut hingga ke Sumatera Utara. Lalu pada 25 November hujan ekstrem yang diperkirakan hingga tiga kali kekuatan hujan di Sumatera Utara dan Sumatera Barat terjadi di Aceh.

Hujan deras berturut-turut itu menyebabkan banjir bandang di wilayah tersebut, hingga memutus segala akses dan aktivitas. Bahkan, berdasarkan data yang dirilis BNPB pada Jumat (5/12/2025) bencana itu telah merenggut 867 korban jiwa, 521 orang masih hilang, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi.

Meski begitu, hingga 5 Desember 2025 pemerintah belum juga menetapkan musibah besar tersebut sebagai bencana nasional, mengapa?

Menurut Rifqi, setidaknya terdapat tiga asalan banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Pulau Sumatera itu belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Pertama, bahwa penetapan bencana nasional merupakan wewenang Pemerintah pusat.

“Dalam hal ini presiden memiliki diskresi untuk mengeluarkan kebijakan terkait penetapan status bencana nasional,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima Maklumat.id, Jumat (5/12/2025).

Baca Juga  Membanggakan! Intan Meidy Mahasiswa Umsida Sabet Penghargaan Most Innovative Research di Ajang Internasional

Menurutnya, tidak segera ditetapkannya status banjir Sumatera sebagai bencana nasional kemungkinan berkaitan dengan perhitungan konsekuensi yang harus ditanggung negara—dalam hal ini hitungan ekonomi dan kapasitas keuangan—untuk mengatasi kondisi yang ada.

Yang kedua, kata Rifqi, penetapan status bencana nasional berkaitan dengan tanggung jawab penanganan dan pemulihan yang diambil alih oleh negara, maka negara harus mau dan siap menanggung pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses penanganan dan pemulihan, yang tidak hanya saat bencana, tapi juga pascabencana.

Ketiga, pemerintah (red: Presiden) menurut Rifqi sedang berfikir keras terkait hal tersebut lantaran dihadapkan pada sesuatu yang dilematis, karena pada satu sisi juga pemerintah harus menjaga proses pemulihan ekonomi nasional yang masih dalam kondisi lemah.

Layak Menjadi Bencana Nasional

Meski demikian, Rifqi menilai jika dibandingkan dengan bencana lumpur lapindo dan tsunami Aceh puluhan tahun silam, serta dilihat dari tingkat kerusakan, bobot kerugian, hingga jumlah korban dalam bencana banjir Sumatera, semestinya musibah tersebyt sudah layak untuk ditetapkan sebagai bencana nasional.

“Kerusakan dan kerugian yang diderita masyarakat Sumatera dari musibah banjir ini saya rasa jauh lebih besar dari tragedi lumpur lapindo yang saat itu ditetapkan sebagai bencana nasional,” terangnya.

Hal itu, kata dia, dilandaskan berdasar Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa indikator penetapan status bencana adalah jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Baca Juga  Perguruan Tinggi Harus Menjadi Penggerak Transformasi Sosial dan Ekonomi Berkelanjutan

“Dalam hal ini, rujukan kita untuk menakar kelayakan status bencana nasional adalah dasar dan takaran penetapan bencana nasional pada musibah lumpur lapindo dan tsunami Aceh,” terangnya

Menurutnya, desakan agar negara segera menetapkan status bencana nasional adalah agar korban bencana segera dapat ditangani dan diselamatkan. Selain itu, proses penanganan bisa lebih masif dan komprehensif oleh pusat, mengingat radius bencana yang bersifat lintas daerah, bahkan mencakup tiga provinsi.

Negara Tetap Bertanggung Jawab

Kendati demikian, Rifqi menegaskan bahwa secara teori maupun norma, tidak kunjung ditetapkannya banjir Sumatera sebagai bencana nasional bukan berarti negara tidak ikut campur ataupun tidak bertanggung jawab.

Ia menandaskan bahwa proses penangan sejauh ini telah dan masih terus berlangsung dengan menggunakan instrumen pemerintah pusat. “Sampai hari ini proses penanganan sejatinya sudah dijalankan menggunakan instrumen pemerintah pusat,” tandasnya.

Namun, lanjut Rifqi, kecepatan dalam penanganan korban banjir Sumatera sangatlah penting, mengingat keterbatasan kondisi mereka saat ini. “Dan kecepatan itu bisa didorong dengan penetapan status bencana nasional,” tegasnya.

Meski begitu, Rifqi kembali menekankan bahwa walaupun belum berstatus bencana nasional, hak korban tetap bisa dan wajib dipulihkan oleh negara dengan atau tanpa penetapan status bencana nasional.

“Bencana ini sejatinya hasil dari salah urus hutan oleh penguasa. Karenanya, selain pemulihan hak korban, pemerintah harus memastikan bahwa pejabat yg memiliki andil atas kerusakan lingkungan dan hutan yang menyebabkan banjir itu harus dihukum berat,” kata pria yang juga menjabat Kepala Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Umsida itu.

Baca Juga  Ridho Al-Hamdi: Urusan Politik Harus Disikapi dengan Hikmah

Selain itu, tambah Rifqi, korporasi yang terlibat harus dituntut untuk mengganti dan memulihkan kerusakan lingkungan serta derita warga.

*) Penulis: Romadhona S / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *