Pernyataan Prabowo soal Status Bencana Nasional Kabut Asap 2015 Kembali Mengemuka

Pernyataan Prabowo soal Status Bencana Nasional Kabut Asap 2015 Kembali Mengemuka

MAKLUMAT – Pernyataan Prabowo Subianto soal usulan status bencana nasional untuk bencana kabut asap 2015 kembali diungkit oleh sejumlah netizen di berbagai media sosial, Rabu (17/12/2025). Mereka membandingkan hal itu dengan ucapan Prabowo yang kini telah menjabat Presiden dalam menangani bencana Sumatera.

Mereka menyampaikan kekecewaannya terhadap Prabowo terkait status bencana di Sumatera yang tak kunjung ditetapkan sebagai bencana nasional. Pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra yang diungkit itu awalnya diunggah melalui akun Facebook Prabowo Subianto pada Selasa (13/10/2015).

“Selamat sore sahabat, banyak diantara sahabat yang terkena dampak dari kabut asap bertanya kepada saya, bagaimana sikap saya terhadap permasalahan ini? Demi mengatasi kabut asap yang terus merugikan sebagian rakyat Indonesia, saya menyarankan untuk menaikkan status tersebut menjadi bencana nasional,” tulisnya sepuluh tahun lalu.

Ia melanjutkan, tujuan dari penetapan itu adalah agar penanganan yang diberikan pemerintah pusat dan daerah dapat lebih maksimal, mengingat dampak yang ditimbulkan sudah sangat memperihatinkan. Selain itu, dalam menangani masalah asap di Indonesia, disarankan agar dibentuk kementerian khusus yang fokus menangani bencana alam, seperti yang diterapkan di Rusia.

“Dengan memanfaatkan teknologi satelit, Kementerian Penanggulangan Bencana di Rusia bisa mendeteksi adanya titik-titik api, dengan begitu kebakaran hutan dapat dicegah. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus berani melakukan investigasi agar para pelaku pembakar hutan mendapatkan sanksi dan hukuman yang sesuai,” tandasnya.

Baca Juga  Prabowo Resmi Melantik Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih

Bagaimana Tanggapan Pakar?

Menggapai hal tersebut, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi punya pandangannya sendiri. Pakar politik jebolan TU University Dortmund itu tidak membandingkan, namun meminta Prabowo untuk belajar dari masa lalu.

Kala itu, pernyataan resmi pemerintah tahun 2015 menyebutkan 19 orang meninggal karena asap. Namun studi yang dilakukan oleh 12 peneliti asal Universitas Harvard dan Columbia menyatakan ada 100.300 kasus kematian yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Indonesia pada September-Oktober 2015. Studi itu terbit pada tahun 2016.

“Prabowo yang dulu meminta untuk menetapkan, seperti di informasi tersebut ya, menetapkan sebagai bencana nasional, tetapi oleh pemerintah (pada saat itu) tidak ditetapkan bencana nasional,” ujarnya kepada wartawan Maklumat.id.

Ridho kemudian menyatakan bahwa pemerintah hari ini seharusnya melibatkan banyak pihak, terutama para peneliti yang fokus di bidangnya. Ia menekankan bahwa pengambilan keputusan tidak cukup hanya mengandalkan institusi pemerintah. Melainkan juga perlu melibatkan NGO atau institusi yang ahli dalam kebencanaan agar proses pengkajian lebih tepat.

Ridho juga menekankan bahwa seorang pemimpin tidak boleh sembarangan berbicara atau bersuara. Ia menyebutkan pentingnya melibatkan banyak pihak, termasuk psikolog publik, yang memahami bagaimana menilai dan memahami perasaan massa ketika pemerintah mengeluarkan sebuah keputusan.

“Nah, artinya memang pemerintah harus benar-benar melakukan pengkajian yang cukup mendalam ya terhadap sebuah persoalan agar supaya penanganan persoalan itu benar-benar tepat,” jelasnya.

Baca Juga  Haedar Nashir Minta Elite Kontestan Pemilu 2024 Mengarah Jadi Negarawan

Ridho mempertanyakan, mengapa dalam bencana di Sumatera yang menelan banyak korban, aspek kemanusiaan dari pemerintah tidak didahulukan? Sementara kepentingan ekonomi, kekhawatiran berkurangnya anggaran akibat penetapan status bencana nasional, atau pembatasan bantuan dari luar negeri tampak lebih diprioritaskan.

Ia menegaskan bahwa pemerintah pun sejauh ini belum mampu menyelesaikan bencana nasional yang telah menelan banyak korban. Bahkan, sampai detik ini, dampak dan efek banjir pun belum terselesaikan atau tertangani dengan baik.

“Pemerintah lagi-lagi harus meaningful participation dari semua pihak, dari ormas, NGO, para peneliti, para praktisi, yang mereka tentunya mempunyai kepedulian terhadap Republik ini agar segera siuman. Tidak sekadar menjadi bancaan pemerintah atau pejabat yang selfie-selfie mengambil simpati publik,” pesannya.

Hingga kini, pemerintah belum menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Kendati demikian, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa sebanyak 1.053 orang telah menjadi korban jiwa akibat bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Selain itu, sebanyak 200 orang masih dilaporkan hilang.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *