MAKLUMAT – Di tengah derasnya arus digital dan algoritma yang mengatur hidup kita hari ini, ada satu warisan intelektual yang patut kita tengok kembali: sebuah grafik tua berjudul Causes Générales des Crimes. Meski dibuat lebih dari seabad lalu, visual ini menyimpan pesan yang masih relevan bahwa kejahatan bukan sekadar soal hukum, tapi soal manusia, masyarakat, dan sistem yang membentuknya.
Kejahatan terdiri dari beberapa bagian utama. Bagian atas, menampilkan daftar kategori kejahatan seperti pencurian, kekerasan, pembunuhan, dan pelanggaran moral, yang disejajarkan dengan elemen-elemen statistik seperti pendidikan, agama, dan kepadatan penduduk. Bagian tengah, sebuah matriks besar dengan titik-titik dan area berarsir yang menunjukkan korelasi antara jenis kejahatan dan faktor sosial tertentu. Bagian bawah, menyediakan penjelasan tambahan tentang elemen-elemen seperti populasi, tingkat kriminalitas, dan penyebab lainnya. Sementara, legenda dan catatan menjelaskan simbol-simbol dan metode statistik yang digunakan. Visual ini bukan sekadar grafik, melainkan cerminan dari semangat zaman yang mencoba memahami akar kejahatan melalui pendekatan ilmiah dan sistematis.

Grafik Sumber ini bukan hanya deretan angka dan garis. Ia adalah cermin dari upaya manusia memahami kompleksitas perilaku kriminal. Di dalamnya, kita melihat bagaimana pencurian, kekerasan, dan pelanggaran moral tidak muncul begitu saja, melainkan tumbuh dari tanah yang subur oleh ketimpangan, kebodohan, dan keterasingan sosial.
Mari kita lihat lebih dengan membaca di sisi kiri grafik, tercantum berbagai jenis kejahatan: dari pencurian biasa hingga pembunuhan. Di sisi kanan, tersaji elemen-elemen sosial seperti pendidikan, agama, dan kepadatan penduduk. Titik-titik dan arsiran di tengahnya menunjukkan korelasi semakin rendah tingkat pendidikan, semakin tinggi angka kejahatan tertentu. Semakin padat suatu wilayah, semakin rentan terhadap tindak kekerasan. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah jeritan sunyi dari masyarakat yang terpinggirkan.
Lalu, apa makna semua ini bagi kita hari ini?
Pertama, kita harus berhenti melihat kejahatan sebagai produk individu semata. Narasi lama yang menyalahkan pelaku tanpa menyentuh akar masalah sudah waktunya ditinggalkan. Kejahatan adalah gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam. Ketika akses pendidikan terbatas, ketika pekerjaan sulit didapat, ketika ruang publik tidak aman, maka kejahatan menjadi jalan pintas yang tragis.
Kedua, grafik ini mengingatkan kita bahwa data bukan hanya untuk akademisi atau birokrat. Data adalah alat pembebasan. Ketika kita memahami pola-pola sosial yang melahirkan kejahatan, kita bisa merancang kebijakan yang lebih manusiawi. Bukan penjara yang diperluas, tapi sekolah yang diperbanyak. Bukan patroli yang ditingkatkan, tapi ruang komunitas yang diperkuat.
Ketiga, kita perlu membangun empati statistik. Di balik setiap angka kriminalitas, ada manusia. Ada anak yang tumbuh tanpa bimbingan. Ada ibu yang kehilangan pekerjaan. Ada remaja yang terjebak dalam lingkaran kekerasan. Grafik ini, meski dingin dan matematis, sebenarnya mengajak kita untuk lebih hangat dan peduli.
Dalam konteks Indonesia, pesan ini sangat relevan. Ketimpangan sosial masih menjadi tantangan besar. Di kota-kota besar, kita melihat bagaimana kemiskinan dan keterasingan melahirkan kejahatan jalanan. Di daerah terpencil, minimnya akses pendidikan dan layanan publik membuka ruang bagi pelanggaran hukum yang tak tercatat. Kita butuh pendekatan baru yang tidak hanya menghukum, tapi juga menyembuhkan.
Bayangkan jika grafik seperti ini dibuat ulang dengan data Indonesia hari ini. Kita bisa melihat bagaimana faktor-faktor seperti urbanisasi, migrasi, dan digitalisasi memengaruhi pola kejahatan. Kita bisa mengidentifikasi wilayah-wilayah yang butuh intervensi sosial. Kita bisa merancang kebijakan berbasis bukti, bukan asumsi.
Namun, semua ini butuh keberanian politik dan kesadaran publik. Kita harus berani mengakui bahwa sistem kita belum sepenuhnya adil. Bahwa penjara bukan solusi jangka panjang. Bahwa pencegahan lebih murah dan lebih manusiawi daripada penindakan.
Grafik tua ini, dengan segala keterbatasannya, telah membuka jalan. Kini, tugas kita adalah melanjutkan langkahnya. Dengan teknologi yang lebih canggih, dengan data yang lebih kaya, dan dengan nurani yang lebih tajam.
Karena pada akhirnya, kejahatan bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ia adalah cermin dari kegagalan kita membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan penuh harapan.
Mari kita baca ulang grafik ini. Bukan sebagai artefak sejarah, tapi sebagai panggilan untuk bertindak. Untuk membangun sistem sosial yang tidak hanya menghukum, tapi juga memeluk. Untuk menjadikan statistik sebagai jembatan menuju keadilan. Dan untuk memastikan bahwa di balik setiap angka, ada manusia yang layak diperjuangkan. (*)