Soal Hunian Vertikal di Perkotaan, Pakar UMY Ingatkan Risiko Sosial, Lingkungan, dan Kebencanaan

Soal Hunian Vertikal di Perkotaan, Pakar UMY Ingatkan Risiko Sosial, Lingkungan, dan Kebencanaan

MAKLUMAT — Pakar kebijakan tata kelola perkotaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Muhammad Eko Atmojo SIP MIP, angkat bicara soal langkah pemerintah yang terus mendorong pembangunan hunian vertikal di wilayah perkotaan sebagai solusi atas keterbatasan lahan dan tingginya angka urbanisasi.

Kebijakan tersebut dinilai relevan untuk menjawab persoalan kepadatan penduduk, namun perlu diiringi pengawasan ketat agar tidak memunculkan persoalan baru, khususnya pada aspek lingkungan, sosial, dan kebencanaan.

Keterbatasan Lahan dan Fenomena Urbanisasi

Eko menyampaikan bahwa dorongan pembangunan hunian vertikal dilatarbelakangi oleh semakin terbatasnya ketersediaan lahan di kawasan perkotaan, baik di kota besar maupun kota berkembang. Kondisi tersebut kian diperparah oleh tingginya arus urbanisasi dan migrasi penduduk dari desa ke kota yang terus meningkatkan kebutuhan akan hunian layak.

“Lahan di perkotaan sangat terbatas, sementara urbanisasi terus meningkat. Ditambah lagi harga tanah yang semakin mahal, sehingga hunian vertikal menjadi pilihan yang lebih realistis dibandingkan hunian horizontal,” ujarnya, dilansir laman resmi UMY, Kamis (18/12/2025).

Menurut dia, masifnya urbanisasi juga dipicu oleh belum meratanya lapangan pekerjaan di daerah penyangga dan pedesaan. Akibatnya, kawasan perkotaan menjadi pusat aktivitas ekonomi sekaligus tujuan utama para pencari kerja.

Ia berharap, pembangunan hunian vertikal dapat menekan pertumbuhan kawasan permukiman kumuh serta fenomena urban sprawl yang selama ini kerap terjadi akibat lonjakan jumlah penduduk kota. Melalui konsep rumah susun atau apartemen, pemerintah diharapkan mampu memindahkan masyarakat dari hunian tidak layak menuju lingkungan permukiman yang lebih tertata dan terencana.

Baca Juga  Kemiskinan di Perkotaan Meningkat, Dosen UMS Sebut Ada Tiga Persoalan Utama

Tidak Boleh Jadi Beban Baru Masyarakat

Meski demikian, Eko menekankan bahwa kebijakan hunian vertikal tidak boleh justru menjadi beban baru bagi masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Ia menilai skema pembiayaan yang terjangkau menjadi faktor penting agar hunian vertikal dapat diakses secara luas. Skema seperti uang muka rendah hingga nol persen, serta pengaturan harga berdasarkan kemampuan penghasilan masyarakat, menurutnya perlu menjadi perhatian serius pemerintah dalam merumuskan kebijakan hunian vertikal.

Selain aspek ekonomi, edukasi kebencanaan juga menjadi perhatian utama. Mengingat Indonesia berada di kawasan rawan bencana, masyarakat yang tinggal di hunian vertikal perlu dibekali pemahaman terkait mitigasi risiko, seperti gempa bumi, kebakaran, hingga jalur evakuasi.

“Edukasi kebencanaan harus menjadi bagian dari kebijakan hunian vertikal, agar masyarakat memiliki kesiapsiagaan saat terjadi kondisi darurat,” tandasnya.

Potensi Dampak Lingkungan dan Kesenjangan

Lebih lanjut, Eko juga mengingatkan potensi dampak lingkungan akibat pembangunan hunian vertikal secara masif. Hilangnya daerah resapan air, meningkatnya tekanan terhadap air tanah, serta kebisingan menjadi risiko yang perlu diantisipasi sejak tahap perencanaan.

“Pemerintah harus memastikan setiap pembangunan memenuhi standar operasional prosedur, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan perizinan. Penegakan aturan menjadi kunci agar hunian vertikal tidak merugikan lingkungan maupun masyarakat sekitar,” tegasnya.

Selain itu, pembangunan hunian vertikal juga dinilai berpotensi menimbulkan kesenjangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan apabila tidak disertai penyediaan ruang ekonomi dan ruang terbuka hijau. Pengelolaan limbah yang baik serta penyediaan ruang hijau, seperti taman dan rooftop garden, dinilai penting untuk mendukung prinsip pembangunan berkelanjutan.

Baca Juga  Khofifah Gembleng Puluhan Pemimpin, Minta Langsung Tancap Gas Sukseskan Tiga Program Prioritas Nasional

“Hunian vertikal harus dirancang secara berkelanjutan, memiliki sistem pengelolaan limbah yang memadai, serta menyediakan ruang terbuka hijau agar tidak memperparah kerusakan lingkungan,” pungkas Eko.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *