MAKLUMAT — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengingatkan meningkatnya risiko penularan penyakit menular di lokasi pengungsian korban banjir dan tanah longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Mobilitas penduduk yang tinggi, keterbatasan layanan kesehatan, serta menurunnya cakupan imunisasi berpotensi memicu Kejadian Luar Biasa (KLB), terutama penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, drg. Murti Utami, menegaskan kondisi darurat bencana harus diantisipasi melalui langkah kesehatan masyarakat yang cepat, terukur, dan terkoordinasi.
“Situasi bencana meningkatkan risiko penularan penyakit menular, khususnya PD3I. Karena itu, surveilans dan pelayanan imunisasi harus tetap berjalan untuk melindungi kelompok rentan dan mencegah KLB,” ujar Murti Utami dikutip dari laman Kemenkes, Jumat (19/12/2025).
Kewaspadaan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Nomor HK.02.02/C/5745/2025 tentang Penanggulangan PD3I di daerah terdampak banjir dan tanah longsor di tiga provinsi tersebut.
Melalui surat edaran itu, Kemenkes meminta pemerintah daerah memperkuat surveilans penyakit menular secara intensif dan berkelanjutan, termasuk berbasis masyarakat di wilayah terdampak dan posko pengungsian. Surveilans dilakukan dengan melibatkan tenaga kesehatan dan klaster kesehatan penanggulangan penyakit.
Selain di masyarakat, surveilans aktif juga diwajibkan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan. Langkah ini mencakup penemuan kasus secara aktif, penelusuran riwayat kontak, pengambilan spesimen laboratorium, serta analisis tren kasus harian sebagai dasar respons kesehatan masyarakat.
Promosi kesehatan di lokasi pengungsian juga menjadi perhatian. Kemenkes mendorong penerapan etika batuk, penggunaan masker, serta kebersihan tangan. Masyarakat diimbau segera melapor ke petugas kesehatan apabila mengalami gejala penyakit menular.
Dalam tata laksana medis, Kemenkes mengatur penanganan suspek penyakit menular seperti campak dan pertusis. Suspek campak perlu diisolasi, diberikan vitamin A, serta terapi suportif. Sementara suspek pertusis harus mendapatkan antibiotik dan dirujuk bila kondisi memburuk.
Kemenkes menegaskan pelayanan imunisasi rutin dan imunisasi kejar harus tetap berjalan meskipun dalam kondisi darurat. Jika fasilitas kesehatan rusak, pos imunisasi darurat diminta segera dibuka. Selain itu, imunisasi tambahan atau crash program juga didorong di wilayah pengungsian dan daerah dengan cakupan imunisasi rendah.
Tak hanya PD3I, Kemenkes juga mengingatkan ancaman leptospirosis yang kerap muncul pascabanjir dan tanah longsor. Penyakit ini sering luput terdeteksi karena gejala awalnya menyerupai demam biasa, namun berisiko fatal jika terlambat ditangani.
“Leptospirosis sering tidak disadari karena gejalanya ringan di awal. Padahal, bila terlambat ditangani, penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi berat hingga kematian,” kata Murti Utami.
Peringatan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Penanggulangan Penyakit Nomor PV.03.03/C/5559/2025 tentang Kewaspadaan Potensi KLB Leptospirosis.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis akibat bakteri Leptospira yang ditularkan melalui urin hewan terinfeksi, terutama tikus. Penularan bisa terjadi lewat air, lumpur, tanah, atau makanan yang terkontaminasi—kondisi yang umum ditemukan di wilayah pascabencana.
Kemenkes menilai sanitasi buruk, genangan air, serta meningkatnya populasi tikus pascabanjir menjadi faktor utama meningkatnya risiko penularan. Aktivitas warga tanpa alat pelindung diri saat membersihkan rumah atau beraktivitas di area tergenang juga memperbesar peluang infeksi.
Masyarakat diminta waspada terhadap gejala awal seperti demam, nyeri otot, sakit kepala, dan mata merah setelah terpapar air banjir atau lumpur.
“Jika mengalami gejala tersebut, segera periksa ke fasilitas kesehatan. Jangan menunggu sampai kondisi memburuk,” tegas Murti Utami.
Untuk mencegah keterlambatan diagnosis, fasilitas kesehatan diminta menjadikan leptospirosis sebagai diagnosis banding pada kasus demam akut dengan riwayat paparan risiko dalam dua minggu terakhir. Dinas kesehatan daerah juga diminta memperkuat surveilans, melakukan pelaporan cepat melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR), serta penyelidikan epidemiologi bila terjadi peningkatan kasus.
Kemenkes menegaskan leptospirosis dapat dicegah melalui penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pengendalian lingkungan, serta kesiapsiagaan layanan kesehatan.
“Leptospirosis sebenarnya bisa dicegah jika kita waspada sejak awal,” pungkas Murti Utami.***