Resolusi Semarang untuk Keadilan Ekologis, Desak Pemerintah Lakukan 6 Tuntutan

Resolusi Semarang untuk Keadilan Ekologis, Desak Pemerintah Lakukan 6 Tuntutan

MAKLUMAT — Ratusan masyarakat dari berbagai latar belakang dalam Sarasehan Hari Antikorupsi 2025 bertajuk “Korupsi dan Darurat Iklim” menyerukan enam poin Resolusi Semarang untuk Keadilan Ekologis, yang menyoroti praktik ugal-ugalan pembangunan dan industri ekstraktif yang mengabaikan aspek lingkungan.

Sarasehan yang digelar di Gedung Balai Bahasa Semarang pada Kamis (18/12/2025) itu diikuti lebih dari 150 peserta, mulai dari pelajar SMA, mahasiswa, akademisi, organisasi masyarakat sipil, komunitas, media, dan sebagainya, serta menjadi ruang refleksi sekaligus konsolidasi publik untuk mendesak negara menghentikan praktik pembangunan yang mengorbankan lingkungan dan keselamatan warga.

Para peserta menilai, bencana ekologis yang melanda Sumatera menjadi peringatan keras bahwa tata kelola sumber daya alam Indonesia berada dalam kondisi darurat. Mereka mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek-proyek ekstraktif serta pembangunan yang dinilai mengabaikan aspek lingkungan, memicu potensi bencana, dan mengancam keselamatan masyarakat.

Dalam kesempatan itu, Ketua PP Muhammadiyah, Dr Busyro Muqoddas SH MHum, menyoroti paradoks daerah yang kaya sumber daya alam, namun warganya justru hidup dalam kemiskinan dan krisis ekologis. Ia mencontohkan kasus Rempang dan Halmahera, di mana masyarakat tersingkir dari ruang hidupnya sendiri.

“Pembukaan sektor ekstraktif kerap menjadi pintu masuk korupsi baru yang hanya menguntungkan elite,” ujar pria yang pernah menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut bahwa pembangunan selama ini jauh dari mandat konstitusi yang menjamin penghidupan layak dan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bencana ekologis yang terjadi, menurutnya, adalah akibat langsung dari kebijakan yang menomorsatukan kepentingan ekonomi.

Baca Juga  Per 4 Desember 2025, Lazismu Jatim Himpun Lebih Dari Rp170 Juta untuk Korban Banjir Sumatera

Senada, Sekjen Transparency International Indonesia, J Danang Widoyoko, menyebut kelimpahan sumber daya alam kerap menjadi “kutukan” akibat maraknya suap dan korupsi di sektor ekstraktif. Karena itu, akuntabilitas atas konsesi tambang dan perkebunan harus menjadi tuntutan publik.

Sementara Zakki Amali dari Trend Asia menyorot praktik penguasaan oligarki atas energi dan sumber daya lainnya, sementara kemiskinan tetap melilit warga di sekitar tambang, termasuk di wilayah pertambangan nikel.

Dampak Proyek Ekstraktif bagi Rakyat

Para warga yang terdampak proyek-proyek ekstraktif dan pembangunan yang merusak lingkungan juga menyampaikan keluh kesahnya dalam forum tersebut.

Petani Kendeng, Joko Priyanto, merasakan kekhawatiran atas keselamatan dan ruang hidup yang tergerus oleh pembangunan dan pertambangan. Kawasan Kendeng sendiri merupakan kawasan karst, yang menjadi area aktivitas ekstraktif penambangan batu kapur.

Ia menyebut, eksploitasi lingkungan yang berlangsung saat ini sebagai bentuk perampasan masa depan generasi mendatang. Ia menilai kerusakan alam bukan semata persoalan lingkungan, tetapi juga menyangkut keadilan sosial.

“Sumber daya alam diambil habis tanpa menyisakan apa pun untuk anak cucu. Itu bagi kami adalah bentuk korupsi,” ujarnya.

Menurut Joko, penambangan di kawasan karst Kendeng ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat memicu bencana. Dampaknya, kata dia, sudah mulai dirasakan warga dalam beberapa tahun terakhir.

“Sekarang sudah terlihat. Di beberapa wilayah Rembang yang dulu tidak banjir, sekarang mulai banjir. Ini akibat kerusakan alam,” katanya.

Baca Juga  Mendorong Optimalisasi Potensi ZIS untuk Transisi Energi dan Solusi Atas Krisis Iklim

Penolakan terhadap proyek yang dinilai merusak lingkungan juga datang dari kawasan pesisir Jawa Tengah. Haryono, seorang nelayan yang terdampak proyek PLTU Batang, menyebut pembangunan industri telah mengganggu sistem pengairan dan mata pencaharian warga.

Ia menyebut, aliran Sungai Roban yang dibendung dan dialihkan untuk kepentingan kawasan industri, membuat lahan pertanian warga mengalami krisis air. “Warga tidak bisa menanam apa-apa. Pengairannya krisis,” ungkap Haryono.

Di laut, nelayan juga menghadapi keterbatasan ruang tangkap akibat lalu lintas kapal industri. Abrasi pesisir pun kian parah. Dalam lima tahun terakhir, wilayah pesisir Batang disebut telah terkikis hingga sekitar 45 meter.

Ironisnya, menurut Haryono, warga terdampak tidak pernah mendapatkan sosialisasi maupun kompensasi sejak proyek dimulai. “Sejak peletakan batu pertama tahun 2012, tidak ada sosialisasi sama sekali,” terangnya.

Resolusi Semarang untuk Keadilan Ekologis

Forum sarasehan bertajuk “Korupsi dan Darurat Iklim” itu berhasil merumuskan “Resolusi Semarang untuk Keadilan Ekologis,” yang berisi enam poin tuntutan kepada pemerintah.

  1. Mengusut tuntas korporasi penyebab bencana ekologis, khususnya di Sumatera;
  2. Menetapkan moratorium izin pertambangan dan perkebunan baru secara nasional;
  3. Melarang keterlibatan aparat negara sebagai backing kepentingan korporasi;
  4. Menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis HAM dan lingkungan;
  5. Menetapkan status Darurat Kemanusiaan Nasional atas bencana ekologis; serta
  6. Mengevaluasi dan mencopot pejabat negara yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Baca Juga  Negosiasi Panjang Satu Dekade, Indonesia-Uni Eropa Akhirnya Capai Kesepakatan IEU-CEPA

Resolusi tersebut menegaskan komitmen masyarakat sipil untuk terus mengawal keselamatan rakyat, memperbaiki tata kelola lingkungan hidup, dan memastikan negara hadir sebagai pelindung, bukan bagian dari masalah.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *