Pakar FISIP UMJ Kritik Lemahnya Mitigasi Penanganan Banjir Sumatera

Pakar FISIP UMJ Kritik Lemahnya Mitigasi Penanganan Banjir Sumatera

MAKLUMAT — Pakar kebijakan publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Dr. Mawar, SIP, MAP, menilai penanganan banjir di berbagai wilayah Sumatera masih belum efektif. Pandangan ini tak lepas dari kebijakan mitigasi pemerintah daerah lebih berfokus pada respons darurat dibanding upaya pencegahan struktural.

Ia menegaskan bahwa respons yang lamban, lemahnya koordinasi lintas sektor, tidak terpadu­nya implementasi kebijakan, keterbatasan anggaran pencegahan, serta kegagalan dalam penegakan regulasi lingkungan menjadi penyebab utama banjir berulang setiap tahun.

“Mitigasi harus dilakukan dengan pendekatan dari hulu ke hilir secara komprehensif, mulai dari penataan ruang, rehabilitasi lingkungan, hingga penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kerusakan ekosistem,” ujarnya, mengutip laman resmi UMJ.

Faktor Penyebab Lambatnya Penanganan Banjir Sumatera

Mawar menegaskan bahwa faktor kebijakan publik yang menyebabkan penanganan banjir tampak lambat adalah lemahnya political will pemerintah pusat. Ia mengkritik adanya kecenderungan pemerintah mengambil solusi tergesa serta mengabaikan aspek ekologis demi kepentingan jangka pendek.

Menurutnya, koordinasi pusat-daerah masih lemah, terutama dalam penetapan status bencana nasional, yang berfokus pada jumlah korban fisik tanpa mempertimbangkan kerugian jangka panjang.

Dalam konteks ini, ia menilai krisis ekologis di Sumatera bukan lagi bencana alam semata. Melainkan “policy disaster” akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali dan kebijakan mitigasi jangka panjang yang inkonsisten.

Baca Juga  ASDP Perpanjang Diskon Penyeberangan Merak-Bakauheni

“Masalah utamanya adalah lemahnya political will pemerintah pusat untuk melakukan penanganan menyeluruh,” ujar Mawar menambahkan. Komunikasi antarinstansi, lanjutnya, dalam menetapkan status bencana masih berbasis korban fisik dan abai terhadap dampak jangka panjang.

“Integrasi kebijakan antara pusat dan daerah juga lemah. Sementara sinergi dalam mengatasi kerusakan ekologis belum terlihat. Ini bukan lagi bencana alam semata, tetapi policy disaster,” ujarnya.

Kembalikan Penguatan Tata Kelola Lingkungan

Dalam hal integrasi kebijakan, Mawar menyoroti belum optimalnya penyelarasan antara kebijakan tata ruang, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan kebijakan lingkungan di berbagai daerah di Sumatera.

Ia menjelaskan bahwa konversi hutan menjadi perkebunan dan permukiman masih terjadi secara masif, memicu banjir dan longsor. Karena itu, ia mendesak pemerintah untuk menyelaraskan RTRW dengan konservasi DAS, membatasi pembangunan di zona rawan banjir, serta memperkuat perlindungan ekosistem hijau.

“Kebijakan lingkungan, tata ruang, dan pengelolaan DAS harus terintegrasi agar fungsi ekologis berjalan optimal. Kalau tidak, upaya pencegahan hanya menjadi solusi teknis di hilir yang tidak menyelesaikan akar persoalan,” tegasnya.

Menanggapi program jangka panjang, ia merekomendasikan banyak aspek. Misalnya kebijakan mitigasi banjir dikunci melalui mekanisme hukum. Begitu juga dengan pendanaan jangka panjang yang stabil serta tidak bergantung pergantian pemimpin politik. Selanjutnya memperkuat melalui partisipasi publik.

Dengan demikian, program pencegahan bencana dapat berjalan konsisten dan berkelanjutan. Langkah-langkah ini untuk merehabilitasi hutan dan normalisasi sungai yang sering terhambat politik anggaran.

Baca Juga  Reni Astuti, Srikandi Komisi X yang Gigih Perjuangkan Pendidikan Anak-anak di Daerah 3T

Langkah Strategis yang Harus Dilakukan Pemerintah

Sebagai langkah strategis, Mawar mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memperkuat kebijakan tata ruang berbasis risiko, membangun sistem komando darurat terpadu lintas provinsi, serta melakukan rehabilitasi hulu dan pengelolaan DAS secara massif dan berkesinambungan.

Ia juga menekankan pentingnya sistem peringatan dini yang terhubung langsung dengan masyarakat, edukasi kebencanaan yang masif, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

“Pendanaan jangka panjang yang stabil juga krusial agar penanganan bencana tidak terus dikendalikan oleh dinamika politik. Tanpa itu semua, banjir di Sumatera akan terus menjadi krisis tahunan,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *