Ketika Romo Katolik Mengiringi Lantunan Al-I’tiraf di Haul Gus Dur

Ketika Romo Katolik Mengiringi Lantunan Al-I’tiraf di Haul Gus Dur

MAKLUMAT — Malam di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12), terasa berbeda. Udara lembap selepas hujan seakan ikut menahan napas ketika suara Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid mulai mengalun pelan. Bukan pidato, bukan pula ceramah. Syair pengakuan dosa karya Abu Nawas—Al-I’tiraf—dilantunkan dengan suara lirih, diiringi saksofon Romo Aloysius Budi.

Itulah salah satu momen paling hening sekaligus paling kuat dalam Haul ke-16 Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid—Gus Dur.

Sebelum syair itu mengalir, Nyai Sinta menyampaikan sekelumit kisah tentang suaminya. Ia menuturkan, Gus Dur terlahir dari keluarga kiai besar, tumbuh di pesantren terpandang, dengan segala privilese sosial yang melekat. Namun, Gus Dur justru memilih jalan sebaliknya.

“Gus Dur melakukan class suicide,” ujar Nyai Sinta melansir laporan NU Online. Bunuh diri kelas, bukan dalam arti harfiah, melainkan laku hidup—menanggalkan jarak sosial, memilih menjadi bagian dari rakyat biasa. Dari rumah hingga negara, dari cara berpikir hingga cara memimpin.

Pilihan hidup itu pula yang, menurut Nyai Sinta, tercermin jelas saat Gus Dur memegang tampuk kekuasaan sebagai presiden. Kepentingan rakyat menjadi kompas utama. Bahkan ketika kekuasaan itu harus dilepas.

“Gus Dur menggunakan kekuasaan untuk rakyat. Dan ketika kekuasaan itu justru berpotensi menyakiti rakyat, beliau memilih mundur,” katanya.

Bagi Gus Dur, lanjut Nyai Sinta, negara bukan tujuan, melainkan alat. Dalam setiap kebijakan, ia bertumpu pada kaidah ushul fikih: kemaslahatan manusia sebagai tujuan utama. Prinsip itulah yang membuat Gus Dur kerap melawan arus—dan akhirnya kehilangan jabatan.

Baca Juga  Anies di Sidang MK: Ini Waktunya Teguhkan Komitmen Demokrasi

Syair Al-I’tiraf yang kemudian disenandungkan seolah menjadi refleksi batin atas perjalanan hidup itu. Tentang manusia, kekuasaan, kerendahan hati, dan pengakuan akan keterbatasan diri di hadapan Tuhan.

Alunan saksofon Romo Aloysius Budi mempertebal suasana. Pastor Katolik yang dikenal aktif berdakwah lintas iman itu bukan tamu baru di keluarga Gus Dur. Ia kerap hadir dalam acara-acara penting, menjahit harmoni di ruang yang kerap dianggap berbeda.

Haul Gus Dur memang selalu menjadi ruang perjumpaan. Malam itu, hadirin tak hanya datang dari kalangan Muslim. Tokoh-tokoh Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, hingga Baha’i tampak duduk berdampingan. Sebuah potret kecil dari Indonesia yang selama ini diperjuangkan Gus Dur.

Sejumlah tokoh nasional turut hadir. Menteri Agama RI Prof. Nasaruddin Umar, Prof. Mahfud MD, Lukman Hakim Saifuddin, Buya Husein Muhammad, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Choiri Fauzi, serta banyak tokoh lainnya.

Selain kolaborasi Nyai Sinta dan Romo Budi, haul ke-16 Gus Dur juga diisi pembacaan ayat suci Al-Qur’an, hadrah, shalawat bersama, testimoni para tokoh, hingga ceramah kiai. Semua mengalir tanpa sekat, tanpa jarak, tanpa rasa paling benar.

Seperti Gus Dur—yang dalam hidupnya memilih berjalan bersama rakyat, bukan berdiri di atas mereka.

Dan malam itu, di Ciganjur, syair tobat Abu Nawas seolah menjadi doa bersama: untuk seorang pemimpin yang percaya, kekuasaan hanya bermakna jika diabdikan pada kemanusiaan.***

Baca Juga  Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Diserahkan Prabowo, Tutut Mewakili Keluarga di Istana Negara
*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *