Pemilu 1955 dan Teladan Kematangan Elite Politik Indonesia

Pemilu 1955 dan Teladan Kematangan Elite Politik Indonesia

MAKLUMAT — Teringat kisah indahnya persahabatan para tokoh bangsa yang diceritakan dengan sangat apik oleh Tempo dalam buku Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim. Mohamad Natsir sebagai tokoh partai Islam Masyumi ketika itu bersahabat erat dengan Ignatius Joseph Kasimo, tokoh Partai Katolik Indonesia.

Keduanya sering terlihat berdebat sangat tajam dalam sidang-sidang Konstituante. Namun, ketika pulang, mereka kerap berboncengan dan minum kopi bersama tanpa ada perasaan dendam di antara keduanya.

Pemilu 1955
Mohamad Sohibul Iman

Tidak hanya dengan Kasimo, Natsir juga bersahabat dekat dengan Johannes Leimena, tokoh Partai Kristen Indonesia (Parkindo), bahkan dengan Dipa Nusantara Aidit yang merupakan Ketua CC PKI.

Kerasnya pertarungan politik dan tajamnya perbedaan ideologi pada masa itu tetap disikapi dengan cara santun dan penuh persahabatan. Masing-masing pihak saling memahami bahwa muaranya bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Periode 1950–1955 merupakan fase penting dan krusial dalam sejarah demokrasi Indonesia. Masa ini adalah periode transisi dari negara serikat (RIS) menuju negara kesatuan (NKRI). Lahirnya banyak partai politik serta diterapkannya sistem parlementer menunjukkan dinamika pembentukan sistem demokrasi modern, meskipun diwarnai ketidakstabilan politik. Eksperimen demokrasi tersebut justru menjadi fondasi kebangsaan yang kuat dalam pembentukan negara demokrasi Indonesia.

Perjalanan sejarah pembentukan negara demokrasi pascakemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari peran figur-figur kunci elite politik pada masa itu. Kematangan berpolitik, pemahaman ideologi yang kuat, serta kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari menjadikan mereka memiliki kapasitas menjalankan fungsi politik secara efektif, berintegritas, dan bertanggung jawab dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Baca Juga  Antara Affan dan Dandi: Tragedi di Jalan Demokrasi

Puncaknya adalah pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 1955 yang berlangsung jujur, adil, dan demokratis. Pemilu ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia modern. Hal itu tercermin dari partisipasi dan antusiasme masyarakat yang tinggi, pelaksanaan pemilu yang aman dan tertib meskipun dengan sarana sangat sederhana, serta kesadaran berkompetisi secara sehat di antara partai politik dan para kandidat.

Pemilu pertama ini akan selalu menjadi daya tarik untuk dikaji dan dibahas dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Herbert Feith, akademisi asal Australia, dalam bukunya The Indonesian Election of 1955, memotret pelaksanaan pemilu pertama di Indonesia. Ia mencatat bahwa banyak petugas partai di tingkat TPS yang buta huruf. Namun, di antara mereka hampir selalu ada setidaknya dua orang yang bisa membaca. Keterbatasan tersebut tidak menghalangi tanggung jawab kolektif dalam menjaga jalannya pemilu.

Selain rendahnya tingkat pendidikan, Pemilu 1955 juga berlangsung dalam kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan. Indonesia sebagai negara yang baru merdeka masih mencari bentuk. Perekonomian tidak stabil, ditandai inflasi tinggi, gejolak mata uang, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, defisit anggaran, serta utang pemerintah yang besar.

Namun, semua keterbatasan itu tidak menjadi penghambat dalam menghasilkan pemilu yang berkualitas dan bermartabat.

Pemilu tahun 1955 bukan sekadar proses memilih wakil rakyat, tetapi menandai lahirnya budaya politik yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemilu ini menjadi simbol kebangkitan politik rakyat setelah kemerdekaan dan wujud nyata pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Baca Juga  Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Amerika dan Keanehan Itu

Rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan ekonomi masyarakat tidak menjadi penghalang lahirnya pemilu yang berkualitas. Pemilu tersebut mampu menghasilkan anggota DPR dan Konstituante yang merepresentasikan pilihan rakyat.

Pemilu pertama juga memberikan pelajaran penting bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Kedewasaan elite politik dalam menampilkan figur yang berkarakter ideologis kuat, berintegritas, dan bersahaja menjadi faktor kunci keberhasilan pemilu tersebut.

Partisipasi masyarakat tercatat mencapai 37,78 juta atau 87,65 persen dari 43,10 juta pemilih terdaftar. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan partisipasi pemilu 2024 yang berada di kisaran 81,9 persen.

Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat. Namun, Pemilu 1955 membantah anggapan tersebut. Kematangan dan kedewasaan elite politik terbukti menjadi faktor inti dalam menentukan keberhasilan demokrasi yang berkualitas. Pendidikan dan ekonomi lebih berfungsi sebagai faktor pendukung.

Meski pendidikan dan ekonomi penting dalam membangun masyarakat yang berdaya, kematangan moral dan etika elite politik tetap menjadi penentu utama lahirnya proses demokrasi yang sehat.

Dalam praktiknya, politisi yang tidak matang sering memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan konstituen demi kepentingan kekuasaan. Sebaliknya, politisi yang matang akan memanfaatkan kekuasaan untuk mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya.

Kedewasaan elite juga tercermin dalam penghormatan terhadap proses politik. Pemilu dijadikan ajang adu ide dan gagasan, bukan sarana eksploitasi isu SARA atau praktik politik transaksional. Konstitusi dihormati, bahkan ketika regulasi tidak berpihak sekalipun.

Baca Juga  Airlangga Hartarto Mundur, IHSG Berfluktuasi: Pengaruh Kebijakan Ekonomi Dipertanyakan

Ketika berada dalam kekuasaan, elite yang matang memilih menjalankan pemerintahan secara lurus, menolak penyalahgunaan wewenang, serta tidak membiarkan korupsi dan manipulasi. Kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat ditempatkan di atas ambisi politik jangka pendek.

Kematangan elite politik tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari proses panjang pergulatan ideologi. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, dan Natsir lahir dari pertarungan pemikiran yang tajam. Nasionalisme, sosialisme, dan Islamisme saling berinteraksi dan membentuk fondasi ideologis bangsa.

Ideologi memberi arah dan motivasi dalam perjuangan politik. Elite politik yang matang secara ideologis akan melahirkan politik gagasan dan semangat kenegarawanan, bukan sekadar perebutan kekuasaan.

Demokrasi yang berlandaskan ideologi akan melahirkan persatuan dan kematangan politik, bukan perpecahan. Karena itu, setiap elite dan partai politik perlu menjaga jati diri ideologisnya, mengedepankan politik gagasan, dan berkomitmen menghadirkan demokrasi yang sehat dan berkualitas.

Perjalanan membangun demokrasi yang berkualitas tidak boleh berhenti. Para pendiri bangsa telah meletakkan fondasi yang kuat untuk diteruskan.

Mungkin tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan Pak Natsir dan Pak Kasimo saat minum kopi bersama. Namun, sejarah mencatat dengan jelas apa yang telah mereka perjuangkan untuk bangsa dan negara.

*) Artikel ini sudah dipublikasikan laman Fraksi PKS.***

 

 

*) Penulis: Mohamad Sohibul Iman
Ketua Majelis Syura PKS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *