Catatan Kritis Tahun 2025 LHKP, MHH, dan LBHAP: Penegakan Hukum, Pemberantasan Korupsi, Hingga Keadilan Sosial Ekologi

Catatan Kritis Tahun 2025 LHKP, MHH, dan LBHAP: Penegakan Hukum, Pemberantasan Korupsi, Hingga Keadilan Sosial Ekologi

MAKLUMAT — Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH), serta Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah memberikan catatan kritis terhadap pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran selama tahun 2025.

Catatan kritis tersebut disampaikan dalam forum bertajuk “Jagongan Akhir Tahun 2025: Catatan Hukum HAM, Kebencanan, dan Lingkungan Hidup” yang digelar tiga Majelis/Lembaga tersebut secara hybrid, Selasa (30/12/2025).

Sekretaris LBHAP PP Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih, menyoroti beberapa persoalan krusial yang menurutnya penting untuk diperhatikan. Dalam pemberantasan korupsi, ia menyebut fakta berbagai kasus korupsi belakangan yang semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya jumlah kasusnya, tetapi juga nominalnya. Hal itu, kata dia, menunjukkan sistem dan tata kelola yang keliru.

“Pemberantasan korupsi itu, kita melihat fakta di akhir-akhir ini, ternyata korupsi ini semakin nyata dan nilainya semakin fantastis,” ujarnya.

“Artinya memang di akhir-akhir ini kerugian nilai akibat tindak korupsi ini menunjukkan fakta yang semakin mengkhawatirkan,” sambung Ikhwan.

Menurutnya, pemberantasan praktik korupsi tidak bisa hanya melalui penindakan secara hukum, meskipun ia mengaskan bahwa penindakan adalah hal yang sangat penting dan krusial. Hal yang tak kalah penting adalah reformasi tata kelola kelembagaan.

“Bukan hanya aspek penindakan, ya aspek penindakan sungguh sangat penting, keberanian penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus korupsi yang bersifat besar (sangat penting),” tandasnya.

Baca Juga  DPD IMM Jatim Temui Senator Ning Lia, Bahas MBG hingga Persiapan Tanwir di Malang

“Namun juga harus diserta dengan aspek reformasi kelembagaan, sehingga praktik-praktik modus korupsi yang sama itu tidak terulang lagi ke depan,” imbuh Ikhwan.

Selain pemberantasan korupsi, ia juga menyoroti praktik legislasi dalam pembentukan regulasi yang menurutnya banyak bermasalah dan justru mengundang kontroversi, terutama terkait revisi Undang-Undang (UU) TNI, KUHAP, dan Perpol yang baru saja diterbitkan.

Tak cuma itu, Ikhwan juga meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk segera memberikan putusan terhadap uji materi (judicial review) yang diajukan pihaknya beserta sejumlah elemen masyarakat sipil terkait istilah Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam UU Cipta Kerja.

“Kami mengingatkan kepada Mahkamah Konstitusi, sekian bulan yang lalu kami mengajukan uji materi tentang PSN di UU Cipta Kerja ke MK. Kenapa harus diuji? Karena di dalam UU Cipta Kerja itu muncul berbagai klaster tentang PSN, yang kalau kita lihat itu tidak ada kejelasan, dan sampai saat ini MK belum memutuskan itu, maka kami meminta agar MK segera memutuskan terkait dengan uji materi itu,” terangnya.

Kemudian, LBHAP PP Muhammadiyah juga menyebut bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera pada akhir November lalu sebagai bagian dari salah urus negara. Ia mendesak agar pemerintah segera menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional.

“Banjir ekologi yang terjadi di Sumatera, kami mendorong kepada pemerintah agar menetapkan status darurat bencana nasional, dan mendorong supaya pemerintah melakukan berbagai upaya maksimal,”

Baca Juga  Muhammadiyah dan Tafsir Kemajuan: Antara Ihsan Qurani dan Kritik atas Progres Barat

Ia juga menegaskan bahwa LBHAP PP Muhammadiyah turut mendampingi sejumlah kasus penangkapan dan kriminalisasi aktivis, terutama pasca-demonstrasi besar-besaran akhir Agustus 2025 lalu.

“Kami juga ikut mendampingi sejumlah kasus kriminalisasi aktivis, kami ikut mendampingi beberapa aktivis yang ditangkap pada demonstrasi Agustus lalu,” tandas Ikhwan.

Senada, Ketua MHH PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, menyoroti masalah penanganan bencana Sumatera yang dinilainya tak hanya belum maksimal, tetapi masih sangat jauh dari harapan.

“Penanganan banjir itu masih jauh dari harapan. Perlu untuk ada upaya yang terbuka terkait penanganan banjir itu, termasuk faktor kalau ada korupsinya, jangan-jangan tidak ditetapkan bencana nasional itu karena akan terbuka kasus-kasus korupsinya itu,” tandasnya.

Ia juga menyoroti penanganan demonstrasi pada Agustus 2025 lalu yang menurutnya terlalu berlebihan, termasuk penegakan hukum yang masih timpang dan wacana reformasi kepolisian yang belum ada kejelasannya.

“Terkait penanganan demonstrasi di Agustus, ada juga warga Muhammadiyah yang ditangkap, dikriminalisasi. Banyak kritik, itu misalnya yang menabrak ojol itu dihukum tidak berat, tetapi yang demonstrasi dihukum lumayan berat. Kemudian ada reformasi Polri, tapi penyelesaiannya juga belum jelas,” sorot Trisno.

Di sisi lain, Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, David Efendi, mengaku pihaknya bersama tim dalam dua tahun terakhir banyak melakukan pendampingan warga di berbagai lokasi, serta melakukan riset dan kajian terkait berbagai isu kebijakan publik, terutama soal perampasan ruang hidup dan masalah sosial ekologi.

Baca Juga  Bahas DCS, LHKP PWM Jatim Gelar Regional Meeting 4 di Sidoarjo

“Dari cerita-cerita keterlibatan kami di organisasi warga, ada beberapa catatan, kata kuncinya adalah “pengabaian.” Jadi pengabaian hak itu seolah menjadi hal yang normal. Jadi pengabaian hak warga itu temuan kita, di Rempang, di Wadas, di Maluku, dan sebagainya, itu kata kunci penting, pengabaian,” katanya.

“Kemudian pengabaian kewajiban negara. Jadi negara tidak melakukan kewajibannya sebagai sebuah negara, banyak hal termasuk kewajiban untuk menciptakan lingkungan yang sehat, lingkungan yang nyaman. Kemudian pengabaian hak-hak alam. lha suara manusia saja sering diabaikan, apalagi suara-suara alam, suara sungai,” imbuh David.

Ia mengajak agar tersebut menjadi refleksi penting bahwa Indonesia memerlukan langkah dan gerakan konkret untuk benar-benar tumbuh serta bertransformasi menjadi lebih baik dalam berbagai aspek ke depan.

“Festival pengabaian itu harus menjadi refleksi kita dan ke depan (itu) tetap akan berlanjut jika tidak ada yang mereset Indonesia, mereset ekonomi, mereset lingkungan, dan lain-lain. Harus direset dan harus ada yang meriset,” tandas David.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *