PENELITI Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), R Siti Zuhro menilai, seharusnya pesta demokrasi nasional, pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 sudah beranjak dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial. Sebab, bangsa Indonesia telah menjalani 6 kali Pemilu.
“Pemilu satu dan dua itu, mestinya Indonesia sudah mengalami proses konsolidasi demokrasi, yang ketika terjadi konsolidasi demokrasi itu berarti kita sudah mulai naik kelas dari demokrasi yang prosedural menuju ke yang lebih substansial,” ujarnya dalam Dialektika tvMu yang dikutip, Selasa (2/4/2024).
Zuhro menjelaskan, demokrasi prosedural adalah sebuah sistem demokrasi yang hanya mengikuti prosedur dan mekanismenya semata. Dia menyebut, itu adalah sebagai fase awal menjajaki demokrasi yang mestinya cukup dilewati dalam satu atau dua kali Pemilu saja.
“Pemilu nasional kita yang ketiga itu seharusnya sudah naik kelas, lebih substansi, lebih substansial, tidak sekedar menapaki semua tahapan-tahapannya, tapi juga mendapatkan kualitasnya,” jelasnya.
Menurut Zuhro, kualitas tersebut bisa diukur melalui partisipasi masyarakat, apakah para pemilih betul-betul menyalurkan hak pilihnya dengan memilih kandidat tertentu secara genuine (asli, berdasarkan hati nurani, pilihan dan pandangan pribadi).
“Ataukah sebaliknya, kalau (masih demokrasi) prosedural itu lebih digerakkan oleh motivasi-motivasi yang banyak hal, khususnya dalam konteks di Indonesia ini misalnya vote buying. Itu salah satunya,” tandasnya.
Yang kedua, kata Zuhro, kualitas Pemilu juga bisa diindikasikan melalui tahapan-tahapannya, apakah sudah dilandasi oleh hukum yang kokoh. Artinya ada kepastian, ada keterukuran, sehingga menghasilkan sesuatu yang sangat predictable.
“Lalu ada transparansi akuntabilitas dan tidak berakhir dengan sengketa,” terangnya.
Lebih lanjut, Zuhro menilai, Pemilu 2014 silam seharusnya sudah menjadi titik balik beranjaknya kualitas demokrasi Indonesia. Sebab, proses penjajakan demokrasi yang prosedural itu cukup terjadi di Pemilu 2004 dan 2009.
“Lha ini yang harusnya sudah mulai naik kelasnya sudah lama kita. 2004 itu Pemilu Presiden langsung, 2009, 2014 itu sudah take off mestinya kita. 2019 itu tidak sepatutnya ada huru-hara Pemilu, tapi luar biasa di 2019. Oleh karena itu kita harapkan di 2024 ini relatif bagus,” ungkapnya.
Menurut Zuhro, Pemilu 2024 justru menjadi sesuatu yang lain. Dia mengaku bersyukur dan bergembira bahwa isu-isu intoleransi, radikalisme dan sebagainya, termasuk polarisasi cebong vs kampret tak lagi muncul di Pemilu 2024.
Namun, dia menyesalkan munculnya praktik-praktik nepotisme. Menurut Zuhro, isu-isu dan dinamika dalam Pemilu 2024 tersebutlah yang kemudian menyebabkan Bangsa Indonesia menghadapi lagi permasalahan yang tidak mudah.
“Nepotisme, yang biasanya kita lihat di daerah-daerah, dengan munculnya dinasti-dinasti politik lokal, ternyata diikuti juga di nasional,” kritiknya.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto