PENGAMAT politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam mengaku tak heran atas minimnya calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, terkhusus di Jawa Timur.
Menurut Surokim, minimnya bakal calon kepala daerah (cakada) jalur perseorangan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota disebabkan oleh banyak faktor, termasuk kesiapan figur calon. Selain itu, waktu atau deadline pengumpulan syarat dukungan yang cukup terbatas.
“Banyak faktor ya, salah satunya ya mungkin terkait mepet atau terbatasnya waktu pengumpulan syarat dukungan dan tentu juga kesiapan para calon itu sendiri, ditambah syarat dukungan dengan KTP itu kan cukup berat, antara 6,5 persen, 7,5 persen, 8,5 persen, atau berapa itu kan cukup sulit apalagi harus tersebar di sekian daerah,” ujarnya kepada Maklumat.id, Senin (13/5/2024).
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur menunjukkan hanya ada 6 bakal paslon jalur perseorangan di 5 kabupaten/kota yang berkasnya diterima oleh KPU setempat. Yakni, di Trenggalek, Jember, Bojonegoro dan Kota Problinggo. Masing-masing hanya satu bapaslon yang mendaftarkan. Kemudian, ada Kota Malang yang terdapat dua bapaslon mendaftar.
Sedangkan untuk di tingkat provinsi dipastikan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim tidak ada calon perseorangan atau independen. Sebab, hingga detik terakhir tahapan penyerahan dokumen dukungan, tidak ada satupun kandidat perseorangan menyerahkan persyaratan dukungan.
Surokim menilai, faktor terpenting adalah soal kesiapan para bakal paslon yang ingin maju dari jalur perseorangan atau independen. Hal itu lantaran kebanyakan para bakal paslon independen itu baru berkonsultasi di waktu yang sudah dekat. Sehingga, semakin membatasi waktu untuk bisa bergerak dan memenuhi syarat dukungan.
“Biasanya para bakal calon perseorangan itu kan baru konsultasi di waktu-waktu yang sudah dekat, dan itu tentu jadi masalah juga, karena mengisi syarat dukungan KTP, mengisi silon itu saya rasa dalam waktu 1-2 hari saja agak sulit,” ujarnya.
“Jadi ya seharusnya jika para calon independen itu memang betul-betul ingin mencalonkan diri, ingin maju dalam kontestasi ya harus jauh-jauh hari sudah berkonsultasi ke penyelenggara atau KPU, jadi ketika tahap pengumpulan syarat dukungan itu dibuka mereka sudah siap,” imbuh pria yang juga menjabat Wakil Rektor III UTM itu.
Selain itu, Surokim berpendapat, ada imbas atau keterkaitan dengan dampak dari Pilpres dan Pileg 2024. Meskipun hanya dampak yang sangat kecil.
“Faktor dampak dari Pilpres dan Pileg 2024 juga berpengaruh, tapi sangat kecil pengaruhnya terhadap minimnya calon perseorangan ini. Yang paling penting adalah kesiapan calon perseorangan itu sendiri untuk maju. Artinya, dia sudah harus paham mekanismenya dan syarat-syaratnya, sudah berkonsultasi dan mulai bergerak dari jauh-jauh hari,” tegasnya.
Lebih lanjut, Surokim berpendapat, para calon independen atau non-parpol sebenarnya bisa juga mendaftarkan diri melalui jalur parpol atau koalisi parpol, seperti sudah lumrah terjadi. Namun, tantangannya juga cukup berat. Sebab, pihak parpol pasti juga akan berpikir dua kali.
Kata dia, hal itu berkaitan dengan loyalitas bakal paslon terhadap parpol yang bersangkutan. Sejumlah parpol pasti telah memiliki daftar nama-nama potensial yang berasal dari kader internalnya yang menjadi prioritas untuk diusung dalam kontestasi.
“Mereka calon perseorangan yang gagal atau tidak bisa mengumpulkan syarat dukungan KTP itu bisa maju mencalonkan diri dari jalur parpol, tapi meski bisa, menurut saya potensinya masih kecil. Karena parpol biasanya sudah punya nama-nama sendiri dari kader-kadernya,” ungkapnya.
Tak hanya, lanjut dia, ini juga berkaitan dengan loyalitas calon tersebut, karena kalau berangkat dari parpol itu nanti pertanyaannya juga seloyal apa dia terhadap parpol pengusung, atau kepada ketua parpolnya.
“Nah, orang-orang parpol pasti sudah bisa menilai dan mengukur potensi itu, sehingga mereka pasti akan berpikir dua kali untuk mencalonkan orang-orang non-parpol,” jelas peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) itu.
Surokim menyesalkan minimnya jumlah bapaslon perseorangan yang akan ikut kontestasi dalam Pilgub Jatim maupun Pilbup dan Pilwali se-Jawa Timur pada 27 November 2024 mendatang. Padahal, calon perseorangan atau independen itu bisa menjadi alternatif selain kandidat-kandidat yang diusung parpol.
Selain itu, Calon independen juga bisa menjadi salah satu upaya alternatif untuk mencegah lahirnya calon tunggal dalam sebuah kontestasi.
“Tapi kan masalahnya syarat dukungannya juga agak berat dan waktu yang tersedia juga mepet. Jadi menurut saya mau tidak mau ya harus mendorong parpol-parpol untuk memunculkan poros-poros baru, agar tidak tercipta calon tunggal dalam kontestasi, itu bahaya,” paparnya.
Surokim juga mengkritik soal mekanisme calon perseorangan yang selama ini terjadi. Dia menyebut hal itu seolah hanya sebagai sebuah formalitas untuk sebatas menunjukkan bahwa orang-orang non-parpol juga boleh ikut kontestasi.
Sebab, pada faktanya sangat sedikit orang-orang non-parpol yang kemudian bisa betul-betul ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan bertarung dalam Pilkada.
“Calon perseorangan atau calon independen ini istilah saya seperti dirindukan tapi tidak bertemu, tidak diwujudkan. Jadi hanya seolah formalitas saja, yang penting sudah diberi peluang, diberi ruang, ada tahapannya, ada prosedur dan mekanismenya, tapi ya normatif-normatif gitu-gitu saja,” pungkas dia.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto