KETUA Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof KH Haedar Nashir membuka pameran dan diskusi mengenang dua tahun kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif. Kegiatan bertajuk “Berdiang di Perapian Buya Syafii” ini digelar di Kiniko Art Building, Kasihan, Bantul, Senin (28/5/2024) malam.
Haedar dalam kesempatan itu memaparkan pengalamannya membersamai Buya Syafii kurang lebih 25 tahun. Tidak hanya ketika mendampingi Buya Safii menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005), dan dirinya sebagi Sekretarisnya, namun juga ketika Buya sudah tidak menjabat. Haedar mengaku tetap setia menemani Buya Syafii di Suara Muhammadiyah (SM).
Haedar mengungkapkan, dirinya memendam rindu yang mendalam terhadap sosok orang tua sekaligus sahabatnya itu. Karena keinginannya untuk senantiasa dekat dengan Buya Syafii, Haedar bahkan sampai memesan kavling tanah pemakaman Khusnul Khotimah di Kulonprogo. Tempat Buya Syafii dikebumikan ketika wafat.
Baca juga: Jangan Mau Dikipas-kipasi
“Saya juga kaget beliau (Buya Syafii) sebelum meninggal sudah pesan tanah pemakaman di Khusnul Khotimah di Kulonprogo. Oleh karena itu lalu saya setelah Buya wafat kemudian itu saya juga ikut pesan tidak ingin jauh dari Buya,” ungkapnya.
Haedar kemudian mengenang kesederhanaan Buya Syafii. Meski tercatat sejarah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah selama tujuh tahun, namun ketika berobat atau besuk ke RS PKU Muhammadiyah, Buya tidak pernah mau diistimewakan.
“Buya adalah sosok yang sederhana dan merasa menjadi orang biasa saja. Jadi ini hal yang saya belajar betul dari beliau. Biarpun sudah menjadi Ketua Umum PP, menjadi tokoh bangsa, Buya tidak pernah merasa menjadi orang besar,” tuturnya di acara yang turut dihadiri oleh budayawan, perupa, dan sastrawan nasional tersebut.
Bahkan, ceritanya, ketika di rumah sakit Muhammadiyah, ketika mau nengok seseorang selalu mengikuti prosedur, dan tentu tidak semua satpam tahukan. “Kami itu selalu dicegat di situ, ditanya macam-macam. Satpam itu tidak tahu kalau beliau itu Ketua Umum PP Muhammadiyah,” tuturnya.
Almarhum Buya Syafii juga dikenal sebagai sosok pemikir progresif. Kendati begitu, Buya Syafii selalu menempatkan posisi yang moderat. Bahkan, Buya tidak pernah garang ngejudge sembarangan. Meskipun juga di beberapa tulisan terkadang galak. Tapi semua itu dihadapi oleh Buya dengan cara biasa.
“Termasuk di saat ada situasi-situasi yang kritis dalam kehidupan kebangsaan, saya jadi saksi utuh ketika dialog itu tidak pernah pada titik yang ekstrim untuk menjudgement keadaan. Di situlah juga belajar tentang kearifan yang melintas batas dalam persoalan-persoalan dan menyikapinya,” ungkapnya.
Haedar menyatakan banyak hal dari sisi-sisi lain dari Buya Syafii yang layak dijadikan contoh. Tidak sekadar dimensi formalitas berpikir tentang progresifitas keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Namun, pemikiran Buya Syafii tidak terpenjara di dalam situ saja. Juga tidak boleh jumud pikir.
Tak lupa, Haedar mengapresiasi adanya kegiatan seperti ini. Sebab, kegiatan mengenang sosok Buya Syafii tanpa perlu pengkultusan. “Tugas kita tanpa perlu mengkultuskan. Sebab beliau juga tidak mau dikultuskan. Menjaga kedekatan dengan gagasan-gagasan Buya Syafii yang memerlukan dialog dan kesabaran terus menerus. Sebab saat ini sedang berhadapan dengan semrawutnya kehidupan keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal,” tandasnya.
Sumber: Muhammadiyah.or.id
Editor: Aan Hariyanto