
MAKLUMAT – Ahli manajemen konstruksi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Ir. Muhammad Nur Sahid, M.T., M.M., meminta pemerintah segera merampungkan kriteria penerima manfaat dalam program pembangunan 3 juta rumah.
Ia menekankan pentingnya akurasi data penerima agar subsidi perumahan tepat sasaran dan menghindari praktik spekulasi properti.
Untuk memastikan data penerima akurat, Nur Sahid mengusulkan agar pemerintah melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki jangkauan luas terhadap kelompok miskin di perkotaan maupun pedesaan. Menurutnya, LSM lebih fleksibel dalam mengidentifikasi calon penerima yang benar-benar membutuhkan.
“Persoalannya adalah siapa yang berhak menerima subsidi ini. Programnya bagus, tapi harus ada ketepatan sasaran. Banyak sekali ketidaktepatan dalam distribusi subsidi,” ujar Nur Sahid melansir laman UMS, Kamis (13/3/2025).
Sebagai akademisi dan praktisi yang telah berkecimpung di dunia konstruksi sejak 1986, ia memahami kesulitan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memiliki hunian. Menurutnya, biaya pembangunan rumah yang tinggi dan harga tanah yang semakin mahal menjadi kendala utama.
“Biaya produksi rumah tinggi, sementara daya beli masyarakat rendah, meskipun ada subsidi 7 hingga 10 persen dari pemerintah,” katanya.
Tantangan Proyek 3 Juta Rumah
Nur Sahid menilai program pembangunan 3 juta rumah menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah integrasi regulasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Menurutnya, komunikasi yang solid antara pemangku kebijakan dan kontraktor menjadi kunci keberhasilan proyek ini.
“Regulasi sudah ada, tetapi implementasi di lapangan yang sulit. Selain itu, pemilihan kontraktor harus diawasi ketat agar proyek ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan risiko keterlambatan anggaran yang bisa menghambat jalannya proyek. Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang memastikan ketersediaan anggaran secara berkelanjutan.
“Jika ada payung hukum yang jelas, kontraktor bisa menggugat jika terjadi masalah pendanaan,” tambahnya.
Selain itu, ia menyoroti maraknya praktik premanisme dalam proyek-proyek konstruksi. Ia menyebut praktik ‘jatah preman’ yang masih terjadi di sejumlah daerah dapat menjadi kendala besar dalam proyek ini. Sebagai seseorang yang telah berpengalaman menangani proyek pembangunan, ia menyebut praktik tersebut sering kali menambah biaya di luar perhitungan awal.
“Sebelum proyek ini berjalan, pemerintah harus memastikan lingkungan bisnis yang sehat dan penegakan hukum yang ketat agar tidak ada hambatan di lapangan,” ujarnya.
Nur Sahid juga mengingatkan agar pemberian stimulus bagi kontraktor dilakukan secara selektif. Ia menegaskan bahwa bantuan pemerintah harus disesuaikan dengan kualitas proyek yang dihasilkan.
“Stimulus harus sebanding dengan kualitas pembangunan. Jangan sampai dananya untuk proyek grade A, tetapi hasilnya malah di bawah standar,” katanya.
Ketidakpastian Peta Jalan Proyek
Pemerintahan Prabowo-Gibran mencanangkan target ambisius membangun 3 juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perumahan Hashim Djojohadikusumo menyebut target nasional dalam lima tahun ke depan adalah 15 juta rumah.
Namun, hingga kini, peta jalan proyek 3 juta rumah masih belum dirilis oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Kondisi ini membuat para pengembang kebingungan terkait arah dan mekanisme pelaksanaan proyek.
“Programnya besar, tapi arahnya masih belum jelas,” kata Nur Sahid.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp5,27 triliun untuk PKP pada 2025, serta tambahan Rp35 triliun untuk berbagai skema pembiayaan rumah, antara lain:
- Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk 220 ribu unit rumah sebesar Rp28,2 triliun.
- Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) untuk 240 ribu unit rumah sebesar Rp0,98 triliun.
- Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk 743.940 unit rumah sebesar Rp4,52 triliun.
- Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk 14.200 unit rumah sebesar Rp1,8 triliun.
Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah mengatakan bahwa anggaran proyek 3 juta rumah bersumber dari APBN. Dari total unit yang direncanakan, dua juta rumah akan dibangun di pedesaan, sementara satu juta rumah akan dialokasikan untuk perkotaan.
Menurutnya, pembangunan rumah di desa memiliki tantangan tersendiri. “Mayoritas warga desa sebenarnya sudah punya rumah, hanya saja kondisinya tidak layak,” ujarnya.
Kriteria Penerima Manfaat Masih Disusun
Anggota Satgas Perumahan Bonny Z Minang mengatakan pemerintah akan memberikan subsidi sebesar Rp600 ribu per bulan dengan tenor 25 tahun bagi rumah senilai Rp100 juta. Calon penerima manfaat akan mendapatkan rumah tipe 36 dengan luas tanah 70 meter persegi.
Namun, hingga 100 hari masa pemerintahan Prabowo, data penerima manfaat program ini masih dalam tahap penyusunan. Bonny menegaskan bahwa program ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin ekstrem.
“Saat ini, kriteria penerima manfaat masih dalam tahap penyusunan,” katanya.
Gambaran sementara kriteria calon penerima manfaat mencakup:
- Masyarakat dalam desil dua ke bawah (1 persen hingga 20 persen rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah).
- Penghasilan tidak lebih dari Rp1 juta per bulan.
- Pelanggan listrik berdaya 450 kWh.
Dengan masih banyaknya tantangan yang harus diselesaikan, publik menunggu langkah konkret pemerintah untuk merealisasikan janji besar ini.