MAKLUMAT — Ketua PP Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni MA PhD, menandaskan pentingnya peran tarjih dalam memperkuat dan memahami ajaran dan nilai-nilai Islam.
Hal itu ia sampaikan ketika menjadi salah satu narasumber dalam Baitul Arqom Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) yang digelar di Narayana Hotel, Trawas, Sabtu (2/8/2025). Ia memaparkan materi bertajuk ‘Memahami Agama Islam dan Metode Tarjih’, yang secara mendalam menguraikan dasar ajaran Islam serta metodologi tarjih Muhammadiyah.
“Jika kita ingin mengetahui tentang Islam maka kita harus melihat apa yang dikatakan di dalam Al-Quran dan sunah. Namun kita tidak cukup hanya dengan teks saja, tapi perlu mendalami dan mengamalkannya,” ujar Syafiq.
Ia menekankan bahwa dalam realitasnya, umat Islam menghadapi keragaman dalam memahami dan menjalankan ajaran agama. Satu ayat dan hadis bisa melahirkan tafsir yang berbeda. Karena itu, dibutuhkan metode untuk memvalidasi dan memperjelas pemahaman—seperti yang dilakukan Muhammadiyah melalui tarjih.
Tarjih: Meneguhkan Dalil yang Paling Kuat
Dalam kesempatan itu, Syafiq menjelaskan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dibentuk pada 1927, atau sekitar 15 tahun setelah berdirinya Muhammadiyah (tahun 1912), sebagai respon atas persoalan keagamaan pasca wafatnya sang pendiri, KH Ahmad Dahlan.
“Setelah KH Ahmad Dahlan wafat muncul berbagai persoalan tentang paham keagamaan itu. Atas inisiatif KH Mas Mansyur dibentuklah Majelis Tarjih Muhammadiyah,” ungkapnya.
Tarjih, kata Syafiq, bertugas memberikan pedoman dalam memahami ajaran Islam secara benar. Istilah ‘tarjih’ sendiri berarti memilih pendapat yang lebih kuat.
“Tarjih adalah memilih yang kuat atau menguatkan salah satu pihak. Jika ada banyak dalil dari Al-Quran dan hadis dan nampak saling bertentangan, maka yang dianut adalah dalil yang paling kuat,” jelasnya.
Ia mencontohkan, jika ada pertentangan antara hadis shahih dan hasan, maka yang dipilih adalah yang shahih. Termasuk dalam penentuan awal puasa, yang menggunakan metode hisab maupun rukyah, Muhammadiyah memilih pendekatan yang paling relevan secara ilmiah.
“Tarjih berkembang menjadi bagaimana kita merumuskan fatwa dan pemikiran Islam,” tandasnya.
Tiga Jalan Memahami Islam
Lebih jauh, Syafiq menjabarkan tiga jalan dalam memahami Al-Quran dan Sunnah: ijtihad, ittiba’, dan taklid.
“Berusaha memahami dengan sungguh-sungguh teks-teks Al Quran dan Sunnah dan ajaran Islam itu yang disebut dengan ijtihad,” terang lulusan University of California, Los Angeles itu.
Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas keilmuan tertentu. Adapun bagi yang belum mencapai derajat mujtahid, mereka menempuh jalan ittiba’, yakni mengikuti pendapat yang ada dengan memahami dalilnya.
Sebaliknya, taklid adalah mengikuti tanpa memahami argumen atau hal yang mendasarinya, menurut Syafiq tidak dianjurkan dan telah ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Isra ayat 36.
“Taklid adalah jalan memahami agama yang tidak direkomendasikan, seperti yang tertera dalam Surat Al-Isra Ayat 36,” katanya.
Oleh karena itu, Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk menghindari taqlid, karena menjadi penyebab stagnasi dalam sejarah peradaban Islam.
Metodologi Tarjih: Antara Ibadah dan Muamalah Duniawiyah
Dalam struktur keagamaan Muhammadiyah, pemahaman terhadap agama dikategorikan menjadi dua prinsip besar: ibadah dan muamalah dunyawiyah.
Untuk ibadah, yang bersifat ta’abbudi, kaidah dasarnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkan.
“Seperti penentuan waktu haji di bulan tertentu, atau pembacaan qunut ketika salat subuh,” jelasnya.
Sementara dalam hal muamalah yang bersifat ta’aqquli, prinsip dasarnya adalah dibolehkan, sampai ada dalil yang mengharamkan. Misalnya dalam kasus judi, undian, atau menggambar makhluk hidup.
Syafiq menegaskan bahwa wawasan tarjih dalam Muhammadiyah dibangun di atas lima pilar, yakni pemahaman agama, tajdid (pembaharuan), toleransi, keterbukaan, dan tidak terikat pada mazhab tertentu.
“Paham agama tidak bisa berjalan jika tidak dipahami, di sinilah peran tarjih untuk terus melakukan pembaruan atau tajdid,” kata pria yang juga pernah menjabat Rektor Umsida periode 2001–2006 itu.
Ia juga menekankan bahwa keputusan tarjih bersifat terbuka. Dalam ilmu falak, misalnya, Muhammadiyah pernah menyelaraskan rukyat dan hisab, namun kemudian mengembangkan pendekatan ilmiah astronomi yang lebih maju.
Pendekatan Tarjih Muhammadiyah
Tak hanya itu, dalam kesempatan tersebut Syafiq juga menguraikan tiga pendekatan yang digunakan Majelis Tarjih dalam memahami ajaran Islam, yakni bayani, burhani, dan irfani.
Pendekatan bayani bertumpu pada penjelasan teks-teks keagamaan, burhani berbasis pada rasionalitas dan argumentasi ilmiah, sementara irfani mengedepankan dimensi spiritual dan intuisi.
“Majelis tarjih menggunakan ketiga metode ini sekaligus. Risalah-risalah yang dikeluarkan, merupakan karya-karya yang dihasilkan dari pendekatan tiga metode ini,” terang Syafiq.